Salah seorang di antaranya adalah Sam. Entah dari mana sesungguhnya
dia datang, aku tidak tahu pasti. Untuk mempercayai seseorang tak cukup hanya
mendengar kata-katanya. Bisa saja dia datang dari balik kabut. Kusebut begitu
sebab ketika itu memang musim kabut. Yaitu saat mana negeri ini mengalami serba
ketidakjelasan. Rezim lama ingin bertahan dengan segala cara. Bahkan dengan
tangan-tangan gelap. Walaupun ada angin
segar bernama reformasi sedang berhembus, tapi segera lenyap. Hanya para
penyusup kemudian menyebar kemana-mana. Yang mana pahlawan yang mana pengkhianat bangsa sama tidak jelasnya. Beberapa aktivis mahasiswa
diciduk dan hilang tak tentu rimbanya. Nyawa manusia jadi tidak berharga. Lensa
kamera wartawan dipecah: sebuah kejahatan tak perlu diabadikan, tapi kenapa
diperbuat? Mengerikan.
Ya, di musim
seperti itulah Sam datang. Sayangnya, dia tidak datang cuma-cuma. Dia datang
membawa cinta. Sesuatu yang mestinya
bercahaya, bukan? Memang, untuk menerima cintanya bukanlah hal yang sulit benar.
Dia baik dan tampan sedang usiaku sudah
cukup untuk bercinta. Tapi menjalin hubungan dengan seseorang di musim kabut
begini menurutku tak ubahnya berlayar di tengah beliung angin. Maka untuk menjadi curahan cintanya membuatku takut.
Ketakutan membuat orang lebih waspada, bermata lebih tajam, tetapi ragu-ragu,
bahkan mengkerut. Demikianlah kurang lebih perasaanku.
Pada babak-babak usiaku sebelumnya, ketika
Papa bertugas di sebuah kota
rawan konflik, beliau memberiku nasehat yang tak bisa kulupakan. Amat religius
menurut pendapatku. Memang demikianlah Papa: Hanya Tuhan yang bisa diandalkan
di saat-saat sulit, katanya.
“Di
saat-saat keadaan sedang tak ramah, apalagi mengancam, rasakan bahwa Tuhan sedang
menjagamu! Asalkan kau selalu pelihara dirimu di jalan yang benar. Terutama ini: jaga kesucianmu!”
Sungguh suatu nasehat yang amat
mengesan. Lebih-lebih di musim kabut begini. Aku takut Sam terhitung mahluk
yang jahat, yang hanya sekedar pura-pura berbaju baik. Hal begini selalu ada
kapan dan di mana. Apa lagi di musim kabut begini. Di awal waktu aku
mengenalnya, beberapa kali ada suara
seperti orang mengetuk pintu di dadaku. Aku jadi kawatir jika sering bersamanya
aku menjadi lemah dan tak mampu bertahan.
Aku akan melakukan hal-hal yang sering diakukan oleh orang yang sedang mabuk
cinta. Soalnya dia sangat memukau. Memang usiaku cukup dewasa untuk bercinta
tetapi masih sangat muda untuk dapat bertahan. Lagi pula, belum jelas dia dari
mana. Penuturannya belum berarti itulah yang sebenarnya. Demikianlah maka aku
dalam bimbang.
Baiklah kuceritakan alasanku seluruhnya:
Keluargaku hidup dalam lingkup cuaca yang sangat keruh. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Papaku seorang meliter, pangkatnya mayor jenderal. Mamaku seorang jaksa tapi sudah meninggal. Korban tabrak lari, dua hari setelah persidangan kasus seorang dari sekian koruptor negeri ini digelar. Sidang itu tak putus-putus, sebab jaksa penuntutnya selalu mati mendadak, dengan sebab yang macam-macam. Termasuk Mama. Lalu abangku yang sulung mati tertembak di kampusnya bersama beberapa mahasiswa yang meneriakkan ‘hidup reformasi!’. Papa dan abang keduaku tidak begitu kaget dan tidak menangis. Aku tidak bisa tidak menangis. Aku terus mengadu kepada Tuhan dan menjaga diri untuk tetap berada di jalanNya.
Aku merasa, betapa tidak berdayanya kami berada di negeri dengan cuaca buruk begini. Dua minggu kemudian abangku kedua pun hilang dan sampai sekarang tidak jelas hidup atau mati. Meski tidak menangis aku tahu, Papa mulai gelisah. Bahkan Papa mulai geram. Bagi kami, diculik dan tak tentu nasibnya lebih pedih ketimbang mati. Bersama beberapa anak buahnya Papa melacak di mana abangku disekap beserta teman-temannya. Tetapi hasilnya nihil.
Prahara itu belum juga berakhir. Setengah bulan berikutnya Papa difitnah dengan dua tuduhan. Pertama, membocorkan rahasia korp meliter. Tuduhan kedua Papa membunuh keluarga Jenderal SY.
“Tak masuk akal! Semua mengada-ada! Semua hanya fitnah. Saya satu kubu dengan beliau. Sama-sama menentang kebijakan itu!” sangkal Papa geleng-geleng kepala. Papa ditangkap dan dipenjara.
”Aisy, jaga dirimu baik-baik. Jangan dekat dengan orang yang tidak kau kenal, kecuali seizin Papa, atau Om Zul.” Teriak Papa dari atas mobil polisi.
Om Zul, adik kandung Papa yang bungsu, usianya tiga tahun di atasku. Dialah satu-satunya yang tersisa dari orang -orang yang kucintai. Aku menangis menderu-deru. Aku betul-betul terguncang. Tapi saat kubezuk, Papa menghiburku dan mengatakan bahwa ini hanya sebuah permainan orang-orang berotak kotor. Konon Papa dan Pak Jenderal SY. termasuk pihak yang menentang sebuah kebijakan yang menurut beliau berdua sangat mnenrugikan Negara, terutama rakyat kecil. Entah tentang apa itu jelasnya, Papa merahasiakan.
Tapi Papa berjanji bahwa ini akan berjalan sebentar. Entah benar atau sekedar menghiburku. Aku dilarang membezuknya lagi untuk sementara waktu. Aku tidak mengerti mengapa. Bagiku semua seperti terjadi di dalam kabut. Semua gelap. Semua menakutkan.
“Kurasa kau belum mengenalku Sam. Setiap orang yang mencintaiku mati, sedikitnya sangat menderita,” tuturku suatu sore, ketika dia menemaniku di jalan kampus
“Tidak ! Bagiku kini mencintaimu adalah suatu keharusan.”
Keharusan katanya. Aku tertawa. Dia kasihan padaku. Karena aku sebatang kara?
“Jangan mencintaiku karena rasa kasihan,Sam. Itu akan membuatku susah bernafas..”
Giliran Sam tertawa. ”Bagiku, mencintai tidak butuh satu alasan,” katanya. “Bila cinta tumbuh di hatiku untuk seseorang, kuartikan bahwa Tuhan sedang menyuruhku melindunginya, meski aku harus menuai kesakitan”
"Wah, hebat! “Meski kau harus mati ?”
“Apalagi hanya mati. Kesakitan lebih berat ketimbang mati.”
Persis prinsip Papa. Betul- betul hebat, seperti pandangan para tawanan perang. Mestinya aku percaya. Tapi cuaca sedang berkabut. Bencana yang bertubi-tubi adalah kenyataan pahit yang telah memberondong orang-orang yang kucintai. Aku mulai bertanya: siapa di balik kabut? Sam, apakah kau juga dari sana? Apakah besok giliranku untuk diculik, atau dibunuh sekalian?
Sam terus membuntutiku. Ya Tuhan, dari pihak mana dia datang dan bagaimana aku mesti bersikap? Aku ingat kata-kata Papa; hati-hati terhadap orang baru!
“Maafkan Sam, butuh banyak waktu bagiku untuk menjadi batu, menggelinding begitu saja menerima merah hitamnya nasib. Maafkan !”
Sejak itu dia tak pernah menyentuh kata-kata cinta lagi. Aku lebih suka begitu. Aku ingin dia seperti sepuluh dua puluh ‘anak-anak’ yang lain, yang sering berkumpul di rumah besarku sejak terjadi bencana beruntun itu. Oya, aku punya dua rumah dalam satu pekarangan. Yang satu rumah besar peninggalan Opa .Yang satunya Papa membangun dengan keringatnya sendiri di sebelahnya. Di rumah besar peninggalan Opa itulah mereka biasa berkumpul. Mula-mula Om Zul yang diminta Papa untuk menjagaku saat teror mulai datang bertubi-tubi lewat telpon rumah. Aku setuju. Keadaan yang sangat keruh membuatku paham kekhawatiran Papa. Selain itu, aku berpikir, mungkin mereka justru merupakan bentuk perlindungan Tuhan terhadapku. Okelah.
Kemudian beberapa teman Om Zul yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Penjaga Keutuhan Bangsa, ikut bergabung. Sebagian mereka adalah para ‘mahasiwa abadi’ di kampusnya masing-masing. Rumah besar itu, bagi mereka layaknya sebuah markas. Mereka bisa mengerjakan apa saja di situ. Kegiatan mereka antara lain; membantu kelancaran koordinasi Badan Eksikutif Mahasiswa antar kampus, diskusi, bikin spanduk, mengkaji wacana-wacana kebangsaan dan masa depan negara, dan lain-lain. Menurut amatanku mereka bukanlah anak-anak manis mama yang harus selesaikan kuliah cepat-cepat, dapat ijazah, lalu mendapat kedudukan di kantor papanya. Mereka punya konsep yang tak umum tentang sukses, kebahagiaan dan cinta. Ungkapan mereka begini: Kami mencintai orang-orang yang menurut kami berhak mendapatkan cinta, tetapi janganlah mereka terlalu mencintai kami !
Dan kupikir siapa yang mencintai mereka dengan sungguh-sungguh, jantungnya akan mudah copot. Mereka hampir tidak punya rasa gentar menyuarakan kebenaran meski mereka sadar itu penuh resiko. Aku bukan salah satu dari mereka. Aku hanyalah anak Papa, seseorang yang kebetulan mereka kagumi karena pendirian dan sikapnya sesuai dengan pandangan dan idealisme mereka.
Tapi Sam ingin lebih dari mereka. Dia ingin mencintaiku sebagai kekasih. Dan sikapnya teguh: meski kudebat beberapa kali, tetap dia tak pernah mau menjauh dariku. Aku makin hati-hati. Dan Sam menganggap sikap hati-hatiku terlalu berlebihan padanya. Aku cuek saja.
Namun lama-lama, setelah merasa-rasakan betapa tulus kebaikan dan kesabarannya, rasanya aku hampir benar-benar jatuh cinta padanya. Sam yang lembut tapi tegar, penyabar tapi tegas, teratur tapi tidak sangat serius, betul-betul memukau. Sulit mencari lelaki seperti itu. Membayangkan Sam aku jadi berani melukiskan surga yang membiasi pagi di padang rumput, lalu kami berterbangan di sekitar danau bening di tengah desa yang damai, seperti capung yang selalu gembira. Tapi sayang, di musim kabut begini orang sebaiknya jangan punya mimpi terlalu indah.
Dan betul. Seorang di antara mereka, Jil Baladewa, yang datang kemudian lalu seperti ‘diangkat’ sebagai ketua oleh mereka karena sikapnya yang disiplin, orasinya yang hebat dan pikirannya yang kritis, serta paling vokal dan berani menyuarakan kebenaran, tadi sore menemuiku di kampus.
“Hati-hati dengan orang baru !” katanya, melirik Sam, lalu pergi.
Sebetulnya dia punya hak apa bicara begitu padaku. Tapi aku ingat pesan Papa. Lalu aku menggarisbawahi kata-kata Jil, yang juga kata-kata Papa: hati-hati dengan orang baru ! Artinya aku harus belajar melihat Sam dengan lebih seksama.
Hari-hari berikutnya maka kubuat Sam seperti sungai. Setiap ada kesempatan aku memancing, sambil mengkaji bahasa yang tertulis di riak airnya. Aku harus tahu pasti jenis ikan yang menyelam di dalamnya, besar kecilnya, bahkan jenis siripnya; lunak atau mematikan. Ini demi keselamatan kami semua .Sebab aku merasa selalu ada orang yang membuntutiku dengan pandangan mata menakutkan. Kadang kucoba adukan itu ke Sam sambil memancing jawabnya, siapa tahu dari sana ada yang bisa kubaca tentang sesuatu di balik kabut.
“Itu halusinasi. Kau capek, Aisy, batinmu yang capek. Sebaiknya kau banyak istirahat. Khusyukkan sholatmu dan tingkatkan tawakkal kepadaNya.” nasehat Sam seperti seorang ulama yang bijak.
Tapi kurasa aku sehat-sehat saja. Dan aku harus makin waspada dengan sikapnya yang ‘baik’ itu. Sam. Sambasrio. Mahasiswa teknik mesin semester dua. Benarkah nganggur dua tahun ? Tidak lebih ? Benarkah soal biaya ?
“Aku seperti pesakitan di depan yang berwajib,” oloknya tentang sikapku.
Aku tak peduli. Kulirik sekali waktu merk sepatunya, celananya, jaketnya, tasnya: tiada yang istimewa! Ya sudah. Apa lagi ? Rambutnya sedikit gondrong. Kulitnya coklat kemerahan, khas kulit kuning bersih yang sering dihantam matahari. Bodynya sedang, tidak terlalu kekar, kulit tangannya tidak terlalu halus. Sebentar dulu, matanya! Apakah matanya pura–pura mengantuk? Seperti matanya seorang mata-mata? Tapi Jil matanya juga seperti itu. Dan beberapa orang di antara kami juga matanya seperti itu.
Sudah. Tidak ada yang perlu digarisbawahi. Dia pintar nyanyi dan main gitar. Suka Iwan Fals, Hari Rusly. Bahkan dia hafal beberapa puisinya Wiji Tukul. Nampaknya dia juga anti kemapanan. Sedikit religius juga. Di kamar kostnya yang kecil ada sajadah yang ditangkup dua, rumbai tasbih yang menyembul keluar dari tempatnya. Sajadahnya agak lusuh. Di tembok terpampang foto-foto sebagian orang-orang besar jaman dahulu; Al Ghazali, Hasan Al Banna, Ayatullah Khomaini, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Saddam Husein, Muammar Khadafi, dan entah siapa lagi dalam ukuran yang lebih kecil.
Kurasa dia bukan sungai yang berbahaya meski bukan akuarium. Tapi, seperti kata Papa dan Jil aku harus tetap hati-hati, dalam kurung: waspada. Entah kenapa, oleh Om Zul sendiri pelan-pelan Sam ditarik masuk dalam forum. Yang lain tak ada masalah. Kecuali Jil nampak kurang suka. Tapi Sam cepat melebur. Walaupun dia nampak sangat lugu soal politik.
Baiklah kuceritakan alasanku seluruhnya:
Keluargaku hidup dalam lingkup cuaca yang sangat keruh. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Papaku seorang meliter, pangkatnya mayor jenderal. Mamaku seorang jaksa tapi sudah meninggal. Korban tabrak lari, dua hari setelah persidangan kasus seorang dari sekian koruptor negeri ini digelar. Sidang itu tak putus-putus, sebab jaksa penuntutnya selalu mati mendadak, dengan sebab yang macam-macam. Termasuk Mama. Lalu abangku yang sulung mati tertembak di kampusnya bersama beberapa mahasiswa yang meneriakkan ‘hidup reformasi!’. Papa dan abang keduaku tidak begitu kaget dan tidak menangis. Aku tidak bisa tidak menangis. Aku terus mengadu kepada Tuhan dan menjaga diri untuk tetap berada di jalanNya.
Aku merasa, betapa tidak berdayanya kami berada di negeri dengan cuaca buruk begini. Dua minggu kemudian abangku kedua pun hilang dan sampai sekarang tidak jelas hidup atau mati. Meski tidak menangis aku tahu, Papa mulai gelisah. Bahkan Papa mulai geram. Bagi kami, diculik dan tak tentu nasibnya lebih pedih ketimbang mati. Bersama beberapa anak buahnya Papa melacak di mana abangku disekap beserta teman-temannya. Tetapi hasilnya nihil.
Prahara itu belum juga berakhir. Setengah bulan berikutnya Papa difitnah dengan dua tuduhan. Pertama, membocorkan rahasia korp meliter. Tuduhan kedua Papa membunuh keluarga Jenderal SY.
“Tak masuk akal! Semua mengada-ada! Semua hanya fitnah. Saya satu kubu dengan beliau. Sama-sama menentang kebijakan itu!” sangkal Papa geleng-geleng kepala. Papa ditangkap dan dipenjara.
”Aisy, jaga dirimu baik-baik. Jangan dekat dengan orang yang tidak kau kenal, kecuali seizin Papa, atau Om Zul.” Teriak Papa dari atas mobil polisi.
Om Zul, adik kandung Papa yang bungsu, usianya tiga tahun di atasku. Dialah satu-satunya yang tersisa dari orang -orang yang kucintai. Aku menangis menderu-deru. Aku betul-betul terguncang. Tapi saat kubezuk, Papa menghiburku dan mengatakan bahwa ini hanya sebuah permainan orang-orang berotak kotor. Konon Papa dan Pak Jenderal SY. termasuk pihak yang menentang sebuah kebijakan yang menurut beliau berdua sangat mnenrugikan Negara, terutama rakyat kecil. Entah tentang apa itu jelasnya, Papa merahasiakan.
Tapi Papa berjanji bahwa ini akan berjalan sebentar. Entah benar atau sekedar menghiburku. Aku dilarang membezuknya lagi untuk sementara waktu. Aku tidak mengerti mengapa. Bagiku semua seperti terjadi di dalam kabut. Semua gelap. Semua menakutkan.
“Kurasa kau belum mengenalku Sam. Setiap orang yang mencintaiku mati, sedikitnya sangat menderita,” tuturku suatu sore, ketika dia menemaniku di jalan kampus
“Tidak ! Bagiku kini mencintaimu adalah suatu keharusan.”
Keharusan katanya. Aku tertawa. Dia kasihan padaku. Karena aku sebatang kara?
“Jangan mencintaiku karena rasa kasihan,Sam. Itu akan membuatku susah bernafas..”
Giliran Sam tertawa. ”Bagiku, mencintai tidak butuh satu alasan,” katanya. “Bila cinta tumbuh di hatiku untuk seseorang, kuartikan bahwa Tuhan sedang menyuruhku melindunginya, meski aku harus menuai kesakitan”
"Wah, hebat! “Meski kau harus mati ?”
“Apalagi hanya mati. Kesakitan lebih berat ketimbang mati.”
Persis prinsip Papa. Betul- betul hebat, seperti pandangan para tawanan perang. Mestinya aku percaya. Tapi cuaca sedang berkabut. Bencana yang bertubi-tubi adalah kenyataan pahit yang telah memberondong orang-orang yang kucintai. Aku mulai bertanya: siapa di balik kabut? Sam, apakah kau juga dari sana? Apakah besok giliranku untuk diculik, atau dibunuh sekalian?
Sam terus membuntutiku. Ya Tuhan, dari pihak mana dia datang dan bagaimana aku mesti bersikap? Aku ingat kata-kata Papa; hati-hati terhadap orang baru!
“Maafkan Sam, butuh banyak waktu bagiku untuk menjadi batu, menggelinding begitu saja menerima merah hitamnya nasib. Maafkan !”
Sejak itu dia tak pernah menyentuh kata-kata cinta lagi. Aku lebih suka begitu. Aku ingin dia seperti sepuluh dua puluh ‘anak-anak’ yang lain, yang sering berkumpul di rumah besarku sejak terjadi bencana beruntun itu. Oya, aku punya dua rumah dalam satu pekarangan. Yang satu rumah besar peninggalan Opa .Yang satunya Papa membangun dengan keringatnya sendiri di sebelahnya. Di rumah besar peninggalan Opa itulah mereka biasa berkumpul. Mula-mula Om Zul yang diminta Papa untuk menjagaku saat teror mulai datang bertubi-tubi lewat telpon rumah. Aku setuju. Keadaan yang sangat keruh membuatku paham kekhawatiran Papa. Selain itu, aku berpikir, mungkin mereka justru merupakan bentuk perlindungan Tuhan terhadapku. Okelah.
Kemudian beberapa teman Om Zul yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Penjaga Keutuhan Bangsa, ikut bergabung. Sebagian mereka adalah para ‘mahasiwa abadi’ di kampusnya masing-masing. Rumah besar itu, bagi mereka layaknya sebuah markas. Mereka bisa mengerjakan apa saja di situ. Kegiatan mereka antara lain; membantu kelancaran koordinasi Badan Eksikutif Mahasiswa antar kampus, diskusi, bikin spanduk, mengkaji wacana-wacana kebangsaan dan masa depan negara, dan lain-lain. Menurut amatanku mereka bukanlah anak-anak manis mama yang harus selesaikan kuliah cepat-cepat, dapat ijazah, lalu mendapat kedudukan di kantor papanya. Mereka punya konsep yang tak umum tentang sukses, kebahagiaan dan cinta. Ungkapan mereka begini: Kami mencintai orang-orang yang menurut kami berhak mendapatkan cinta, tetapi janganlah mereka terlalu mencintai kami !
Dan kupikir siapa yang mencintai mereka dengan sungguh-sungguh, jantungnya akan mudah copot. Mereka hampir tidak punya rasa gentar menyuarakan kebenaran meski mereka sadar itu penuh resiko. Aku bukan salah satu dari mereka. Aku hanyalah anak Papa, seseorang yang kebetulan mereka kagumi karena pendirian dan sikapnya sesuai dengan pandangan dan idealisme mereka.
Tapi Sam ingin lebih dari mereka. Dia ingin mencintaiku sebagai kekasih. Dan sikapnya teguh: meski kudebat beberapa kali, tetap dia tak pernah mau menjauh dariku. Aku makin hati-hati. Dan Sam menganggap sikap hati-hatiku terlalu berlebihan padanya. Aku cuek saja.
Namun lama-lama, setelah merasa-rasakan betapa tulus kebaikan dan kesabarannya, rasanya aku hampir benar-benar jatuh cinta padanya. Sam yang lembut tapi tegar, penyabar tapi tegas, teratur tapi tidak sangat serius, betul-betul memukau. Sulit mencari lelaki seperti itu. Membayangkan Sam aku jadi berani melukiskan surga yang membiasi pagi di padang rumput, lalu kami berterbangan di sekitar danau bening di tengah desa yang damai, seperti capung yang selalu gembira. Tapi sayang, di musim kabut begini orang sebaiknya jangan punya mimpi terlalu indah.
Dan betul. Seorang di antara mereka, Jil Baladewa, yang datang kemudian lalu seperti ‘diangkat’ sebagai ketua oleh mereka karena sikapnya yang disiplin, orasinya yang hebat dan pikirannya yang kritis, serta paling vokal dan berani menyuarakan kebenaran, tadi sore menemuiku di kampus.
“Hati-hati dengan orang baru !” katanya, melirik Sam, lalu pergi.
Sebetulnya dia punya hak apa bicara begitu padaku. Tapi aku ingat pesan Papa. Lalu aku menggarisbawahi kata-kata Jil, yang juga kata-kata Papa: hati-hati dengan orang baru ! Artinya aku harus belajar melihat Sam dengan lebih seksama.
Hari-hari berikutnya maka kubuat Sam seperti sungai. Setiap ada kesempatan aku memancing, sambil mengkaji bahasa yang tertulis di riak airnya. Aku harus tahu pasti jenis ikan yang menyelam di dalamnya, besar kecilnya, bahkan jenis siripnya; lunak atau mematikan. Ini demi keselamatan kami semua .Sebab aku merasa selalu ada orang yang membuntutiku dengan pandangan mata menakutkan. Kadang kucoba adukan itu ke Sam sambil memancing jawabnya, siapa tahu dari sana ada yang bisa kubaca tentang sesuatu di balik kabut.
“Itu halusinasi. Kau capek, Aisy, batinmu yang capek. Sebaiknya kau banyak istirahat. Khusyukkan sholatmu dan tingkatkan tawakkal kepadaNya.” nasehat Sam seperti seorang ulama yang bijak.
Tapi kurasa aku sehat-sehat saja. Dan aku harus makin waspada dengan sikapnya yang ‘baik’ itu. Sam. Sambasrio. Mahasiswa teknik mesin semester dua. Benarkah nganggur dua tahun ? Tidak lebih ? Benarkah soal biaya ?
“Aku seperti pesakitan di depan yang berwajib,” oloknya tentang sikapku.
Aku tak peduli. Kulirik sekali waktu merk sepatunya, celananya, jaketnya, tasnya: tiada yang istimewa! Ya sudah. Apa lagi ? Rambutnya sedikit gondrong. Kulitnya coklat kemerahan, khas kulit kuning bersih yang sering dihantam matahari. Bodynya sedang, tidak terlalu kekar, kulit tangannya tidak terlalu halus. Sebentar dulu, matanya! Apakah matanya pura–pura mengantuk? Seperti matanya seorang mata-mata? Tapi Jil matanya juga seperti itu. Dan beberapa orang di antara kami juga matanya seperti itu.
Sudah. Tidak ada yang perlu digarisbawahi. Dia pintar nyanyi dan main gitar. Suka Iwan Fals, Hari Rusly. Bahkan dia hafal beberapa puisinya Wiji Tukul. Nampaknya dia juga anti kemapanan. Sedikit religius juga. Di kamar kostnya yang kecil ada sajadah yang ditangkup dua, rumbai tasbih yang menyembul keluar dari tempatnya. Sajadahnya agak lusuh. Di tembok terpampang foto-foto sebagian orang-orang besar jaman dahulu; Al Ghazali, Hasan Al Banna, Ayatullah Khomaini, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Saddam Husein, Muammar Khadafi, dan entah siapa lagi dalam ukuran yang lebih kecil.
Kurasa dia bukan sungai yang berbahaya meski bukan akuarium. Tapi, seperti kata Papa dan Jil aku harus tetap hati-hati, dalam kurung: waspada. Entah kenapa, oleh Om Zul sendiri pelan-pelan Sam ditarik masuk dalam forum. Yang lain tak ada masalah. Kecuali Jil nampak kurang suka. Tapi Sam cepat melebur. Walaupun dia nampak sangat lugu soal politik.
**
Langit
indah sore itu. Aku keluar dari
kampus selesai menyetor tugas Anatomi 2 pada dosen pembimbing. Ditemani Sam aku
ingin duduk-duduk di tengah padang rumput tidak jauh
dari kampus. Menikmati udara sore. Sam duduk di dekatku. Aku menggeser sedikit
menjauh. Dua ekor burung yang terbang lurus berjajar di udara tiba-tiba meliuk
dan berpencar di atas semak-semak sana
kemudian kembali pada formasi semula setelah jauh. Aku merasa ada dua orang
mengintai kami dari balik semak-semak sana.
Sam tak percaya.
“ Skizofrenia
!” oloknya sambil mencoba mengelus rambutku. Aku mengelak halus.
Aku berdiri
sambil mengibaskan remah-remah wafer yang berjatuhan ke rokku dan duduk
kembali. Sam kemudian berjalan menuju warung dekat jalan sana untuk membeli dua bungkus nasi. Katanya
enak makan di alam terbuka. Tiba-tiba Sam menjerit dan ketika kutoleh, dia
telah berada di tepi selokan berair. Sebuah sedan warna gelap meluncur seperti
setan dan menghilang di jalan yang menikung ke kiri, di depan sana.
Aku berlari ke dekatnya. “Apa kubilang,
mencintaiku penuh bahaya !” kataku.
Sam tertawa. Untunglah Sam refleksnya bagus.
Lengannya lecet sedikit.
Kejadian hampir serupa menimpa Om Zul di tempat
lain dalam waktu selisih dua hari. Om Zul bocor di bagian kepala dan sempat
opname. Motornya hancur. Jenis mobil yang menyerempetnya kurang jelas tapi
berwarna gelap juga.
Tadi malam mereka mengadakan rapat untuk
membahas kejadian itu. Aku dengan suka rela bertindak sebagai seksi konsumsi.
Sam sibuk membantuku tapi kadang-kadang
memperhatikan Jil secara diam-diam. Mungkin kagum.
“Mungkin ini insiden biasa dan hanya kebetulan
terjadinya hampir bersamaan. Namun kewaspadaan adalah tetap nafas kita.”
demikian Jil menutup pertemuan itu.
Naluriku
bilang ini sebuah percobaan pembunuhan. Mungkin besok giliranku. Kuingat-ingat
meski aku dan Sam sering berdua, kami belum pernah bersentuhan secara sengaja. Tuhan, apa aku
masih di jalan lurus? Apa aku masih berhak berada dalam dekapMu?
Sam
pamit untuk mudik beberapa hari saja dan
mengajakku serta. Tapi aku tahu itu basa-basi. Aku mengelak dengan bilang cuaca sangat buruk. Sam tidak begitu nampak kecewa. Apakah
nyalinya mulai menyusut setelah insiden kecil sore itu hampir menerbangkan
jiwanya?
Nyaris satu bulan Sam belum juga kembali. Rasa
waswasku berkecambah. Apa lagi setelah
Jil dikabarkan hilang. Beberapa kali
dalam seminggu orang yang mengaku papanya, omnya, kakaknya, menelpon ke
‘markas’. Mereka telah melacak
kemana-mana. Teman-teman di ‘markas’ juga sibuk mencari tahu, di samping tetap
waspada menjaga diri masing-masing. Aku mulai
mencurigai Sam. Dan mereka mulai mengungkit kedekatanku dengannya.
Apalagi setelah dilacak di Pusat Data di Ruang Komputer Kampus nama Sam tidak
ada. Sambasrio tidak tercatat sebagai mahasiswa teknik mesin. Kucari ke tempat
kosnya. Bukan cuma Sam yang tidak ada, tapi juga ibu kostnya. Rumah itu tak
berpenghuni. Apakah mereka orang-orang
yang sengaja dikirim dari balik
kabut?
Sampai sekarang Jil belum
ditemukan. Lalu Papa menelponku. Katanya besok Papa pulang. Semua tuduhan itu
ternyata memang fitnah belaka. Pembunuh keluarga Jenderal SY. yang
sebenarnya telah ditemukan dan semua
sudah diringkus.
“ Kau kenal Jil ?”
“Jil Baladewa?”
“Ya. Ternyata dia
ular kobra hitam yang sangat berbahaya. Dia terlibat!”
Ya, Tuhan, aku telah
memancing di sungai yang salah. Aku telah keliru mencurigai Sam. Tiba-tiba aku
rindu Sam. Tapi Sam telah menghilang, membawa separuh
hidupku, membawa cinta dan mimpi yang kusembunyikan. Oh Sam, kemana kau
menghilang? Apakah kau juga dari balik
kabut?
Sebentar dulu! Ya Tuhan, apakah Sam adalah
sejenis Angel Man, Lelaki Malaikat yang khusus Kau kirim untukku karena aku
telah hati-hati menjaga hatiku? Tapi dia
itu materi, dia itu tubuh, dia juga lecet lengannya? Oh!
“Pa, ada seseorang yang
mencoba melindungiku. Namanya Sam. Jangan-jangan dia terlibat dalam penangkapan Jil. Siapa dia, Pa?” tanyaku lewat telpon.
“Lupakanlah jika kau tak
mencintainya!” jawab Papa ringan.
Ya Tuhan, rupanya kekacauan
negeri ini telah merebut seluruh perhatian Papa sehingga abai dengan keributan yang terjadi di dalam dada seorang putrinya!
***
Juara
Favorit LMCR LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD 2010 KATEGORI C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar