Kamis, 07 Maret 2013

Yang Datang dan Pergi di Musim Kabut

Salah seorang di antaranya adalah Sam. Entah dari mana sesungguhnya dia datang, aku tidak tahu pasti. Untuk mempercayai seseorang tak cukup hanya mendengar kata-katanya. Bisa saja dia datang dari balik kabut. Kusebut begitu sebab ketika itu memang musim kabut. Yaitu saat mana negeri ini mengalami serba ketidakjelasan. Rezim lama ingin bertahan dengan segala cara. Bahkan dengan tangan-tangan gelap. Walaupun ada angin segar bernama reformasi sedang berhembus, tapi segera lenyap. Hanya para penyusup kemudian menyebar kemana-mana. Yang mana pahlawan yang mana  pengkhianat bangsa  sama tidak jelasnya. Beberapa aktivis mahasiswa diciduk dan hilang tak tentu rimbanya. Nyawa manusia jadi tidak berharga. Lensa kamera wartawan dipecah: sebuah kejahatan tak perlu diabadikan, tapi kenapa diperbuat? Mengerikan. 
 Ya, di musim seperti itulah Sam datang. Sayangnya, dia tidak datang cuma-cuma. Dia datang membawa cinta.  Sesuatu yang mestinya bercahaya, bukan? Memang, untuk menerima cintanya bukanlah hal yang sulit benar. Dia  baik dan tampan sedang usiaku sudah cukup untuk bercinta. Tapi menjalin hubungan dengan seseorang di musim kabut begini menurutku tak ubahnya berlayar di tengah beliung angin. Maka untuk  menjadi curahan cintanya membuatku takut. Ketakutan membuat orang lebih waspada, bermata lebih tajam, tetapi ragu-ragu, bahkan mengkerut. Demikianlah kurang lebih perasaanku.
Pada babak-babak usiaku sebelumnya, ketika Papa bertugas di sebuah kota rawan konflik, beliau memberiku nasehat yang tak bisa kulupakan. Amat religius menurut pendapatku. Memang demikianlah Papa: Hanya Tuhan yang bisa diandalkan di saat-saat sulit, katanya.
“Di saat-saat keadaan sedang tak ramah, apalagi mengancam, rasakan bahwa Tuhan sedang menjagamu! Asalkan kau selalu pelihara dirimu di jalan yang benar. Terutama ini: jaga kesucianmu!”
Sungguh suatu nasehat yang amat mengesan. Lebih-lebih di musim kabut begini. Aku takut Sam terhitung mahluk yang jahat, yang hanya sekedar pura-pura berbaju baik. Hal begini selalu ada kapan dan di mana. Apa lagi di musim kabut begini. Di awal waktu aku mengenalnya,  beberapa kali ada suara seperti orang mengetuk pintu di dadaku. Aku jadi kawatir jika sering bersamanya aku  menjadi lemah dan tak mampu bertahan. Aku akan melakukan hal-hal yang sering diakukan oleh orang yang sedang mabuk cinta. Soalnya dia sangat memukau. Memang usiaku cukup dewasa untuk bercinta tetapi masih sangat muda untuk dapat bertahan. Lagi pula, belum jelas dia dari mana. Penuturannya belum berarti itulah yang sebenarnya. Demikianlah maka aku dalam bimbang.
Baiklah kuceritakan alasanku seluruhnya:
Keluargaku hidup dalam lingkup cuaca yang sangat keruh. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Papaku seorang meliter, pangkatnya mayor jenderal. Mamaku seorang jaksa tapi sudah meninggal. Korban tabrak lari, dua hari setelah persidangan kasus seorang dari sekian koruptor  negeri ini digelar. Sidang itu tak putus-putus, sebab jaksa penuntutnya selalu mati mendadak, dengan sebab yang macam-macam. Termasuk Mama. Lalu abangku yang sulung mati tertembak di kampusnya bersama beberapa mahasiswa yang meneriakkan ‘hidup reformasi!’. Papa dan abang keduaku tidak begitu kaget dan tidak menangis. Aku  tidak bisa tidak menangis. Aku terus mengadu kepada Tuhan dan menjaga diri untuk tetap berada di  jalanNya.
Aku merasa, betapa tidak berdayanya kami berada di negeri dengan cuaca buruk begini. Dua minggu kemudian abangku kedua pun hilang dan sampai sekarang tidak jelas hidup atau mati. Meski tidak menangis aku tahu, Papa mulai gelisah. Bahkan Papa mulai geram. Bagi kami, diculik dan tak tentu nasibnya lebih pedih ketimbang mati. Bersama beberapa  anak buahnya Papa melacak di mana  abangku  disekap beserta teman-temannya. Tetapi hasilnya nihil.
Prahara itu belum juga berakhir. Setengah bulan berikutnya Papa difitnah dengan dua tuduhan. Pertama, membocorkan rahasia korp meliter. Tuduhan kedua Papa membunuh  keluarga Jenderal SY.
“Tak masuk akal! Semua mengada-ada! Semua hanya fitnah. Saya satu kubu dengan beliau. Sama-sama menentang kebijakan itu!” sangkal Papa geleng-geleng kepala. Papa ditangkap dan dipenjara.
”Aisy, jaga dirimu baik-baik. Jangan dekat dengan orang yang tidak kau kenal, kecuali seizin Papa, atau Om Zul.” Teriak Papa dari atas mobil polisi.
Om Zul, adik kandung  Papa yang bungsu, usianya tiga tahun di atasku. Dialah satu-satunya  yang tersisa dari orang -orang yang kucintai. Aku menangis menderu-deru. Aku betul-betul terguncang. Tapi saat kubezuk, Papa menghiburku dan mengatakan bahwa ini hanya sebuah permainan  orang-orang berotak kotor. Konon Papa dan Pak Jenderal SY. termasuk pihak yang menentang sebuah kebijakan yang menurut beliau berdua sangat mnenrugikan Negara, terutama rakyat kecil. Entah tentang apa itu jelasnya, Papa merahasiakan.
Tapi Papa berjanji bahwa ini akan berjalan sebentar. Entah benar atau sekedar menghiburku. Aku dilarang  membezuknya lagi untuk sementara waktu. Aku tidak mengerti mengapa. Bagiku semua seperti terjadi di dalam kabut. Semua gelap. Semua  menakutkan.
“Kurasa kau belum mengenalku Sam. Setiap orang yang mencintaiku mati, sedikitnya sangat menderita,”  tuturku suatu sore, ketika dia menemaniku di jalan kampus
“Tidak !  Bagiku kini mencintaimu adalah suatu keharusan.”
Keharusan katanya. Aku tertawa. Dia  kasihan padaku. Karena aku sebatang kara?
“Jangan mencintaiku  karena rasa kasihan,Sam. Itu akan membuatku susah bernafas..”
Giliran Sam tertawa. ”Bagiku, mencintai tidak butuh satu alasan,” katanya.    “Bila cinta tumbuh di hatiku untuk seseorang, kuartikan bahwa Tuhan  sedang menyuruhku melindunginya, meski aku harus menuai kesakitan”
"Wah, hebat! “Meski kau harus mati ?”
“Apalagi hanya mati. Kesakitan lebih berat ketimbang mati.”
Persis prinsip Papa. Betul- betul hebat, seperti pandangan para tawanan perang. Mestinya aku percaya. Tapi cuaca sedang berkabut. Bencana yang bertubi-tubi adalah kenyataan pahit yang telah memberondong orang-orang yang kucintai. Aku mulai bertanya: siapa di balik kabut? Sam, apakah kau juga dari sana? Apakah besok giliranku untuk diculik, atau dibunuh sekalian?
Sam terus membuntutiku. Ya Tuhan, dari pihak mana dia datang dan bagaimana aku mesti bersikap? Aku ingat kata-kata Papa; hati-hati terhadap orang baru!
“Maafkan Sam, butuh banyak waktu bagiku untuk menjadi batu, menggelinding begitu saja menerima merah hitamnya nasib. Maafkan !”
Sejak itu dia tak pernah menyentuh kata-kata cinta lagi. Aku lebih suka begitu. Aku ingin dia seperti sepuluh dua puluh ‘anak-anak’ yang lain, yang sering berkumpul di  rumah besarku sejak terjadi bencana beruntun itu. Oya, aku punya dua rumah dalam satu pekarangan. Yang satu rumah besar peninggalan Opa .Yang satunya Papa membangun dengan keringatnya sendiri di sebelahnya. Di rumah besar peninggalan Opa  itulah mereka biasa berkumpul. Mula-mula Om Zul yang diminta Papa untuk menjagaku saat teror  mulai datang bertubi-tubi lewat telpon rumah. Aku setuju. Keadaan yang sangat keruh membuatku paham kekhawatiran Papa. Selain itu, aku berpikir, mungkin  mereka justru merupakan  bentuk perlindungan Tuhan terhadapku. Okelah.
Kemudian beberapa teman Om Zul yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Penjaga Keutuhan Bangsa, ikut bergabung. Sebagian mereka adalah para ‘mahasiwa abadi’  di  kampusnya masing-masing. Rumah besar itu, bagi mereka   layaknya sebuah markas. Mereka bisa mengerjakan apa saja di situ. Kegiatan mereka antara lain; membantu kelancaran koordinasi Badan Eksikutif Mahasiswa antar kampus,  diskusi, bikin spanduk, mengkaji wacana-wacana kebangsaan dan masa depan negara, dan lain-lain. Menurut amatanku mereka bukanlah anak-anak manis mama yang harus selesaikan kuliah cepat-cepat, dapat ijazah, lalu mendapat kedudukan di kantor papanya. Mereka punya konsep yang tak umum tentang sukses, kebahagiaan dan cinta. Ungkapan mereka begini: Kami mencintai orang-orang yang menurut kami berhak mendapatkan cinta, tetapi janganlah mereka terlalu mencintai kami !
Dan kupikir siapa yang mencintai mereka dengan sungguh-sungguh, jantungnya akan mudah copot. Mereka hampir tidak punya rasa gentar menyuarakan kebenaran meski mereka sadar itu penuh resiko. Aku bukan  salah satu dari mereka. Aku hanyalah anak Papa, seseorang yang kebetulan mereka kagumi karena pendirian dan sikapnya sesuai dengan pandangan dan idealisme mereka.
Tapi Sam ingin lebih dari mereka. Dia ingin mencintaiku sebagai kekasih. Dan sikapnya  teguh: meski kudebat beberapa kali,  tetap dia tak pernah mau menjauh dariku. Aku makin hati-hati. Dan Sam menganggap sikap hati-hatiku terlalu berlebihan padanya. Aku cuek saja.
Namun lama-lama, setelah merasa-rasakan betapa tulus kebaikan dan kesabarannya, rasanya aku hampir benar-benar jatuh cinta padanya. Sam yang lembut tapi tegar, penyabar tapi tegas, teratur tapi tidak sangat serius, betul-betul memukau. Sulit mencari lelaki seperti itu.  Membayangkan Sam aku jadi berani melukiskan  surga yang membiasi pagi  di padang rumput,  lalu kami berterbangan di sekitar danau bening di tengah desa yang damai, seperti capung yang selalu gembira. Tapi sayang, di musim kabut begini orang sebaiknya jangan punya mimpi terlalu indah.
Dan betul. Seorang di antara mereka, Jil Baladewa,  yang datang kemudian lalu seperti ‘diangkat’ sebagai ketua oleh mereka karena sikapnya yang disiplin, orasinya yang hebat dan pikirannya yang kritis, serta paling vokal dan berani menyuarakan kebenaran,  tadi sore menemuiku di kampus.
“Hati-hati dengan orang baru !” katanya, melirik Sam, lalu pergi.
Sebetulnya dia punya hak apa bicara begitu padaku. Tapi aku ingat pesan Papa. Lalu aku menggarisbawahi kata-kata Jil, yang juga kata-kata Papa: hati-hati dengan orang baru ! Artinya aku harus belajar melihat Sam dengan lebih seksama.
Hari-hari berikutnya maka kubuat Sam seperti sungai. Setiap ada kesempatan aku memancing, sambil mengkaji bahasa yang tertulis di riak airnya. Aku harus tahu pasti jenis ikan yang menyelam di dalamnya, besar kecilnya, bahkan jenis siripnya; lunak atau mematikan. Ini demi keselamatan kami semua .Sebab  aku merasa selalu ada orang yang  membuntutiku dengan pandangan mata menakutkan. Kadang kucoba adukan itu ke Sam sambil memancing jawabnya, siapa tahu dari sana  ada  yang bisa kubaca tentang sesuatu di balik kabut.
“Itu halusinasi. Kau capek,  Aisy, batinmu  yang capek. Sebaiknya kau banyak istirahat. Khusyukkan sholatmu dan tingkatkan tawakkal kepadaNya.” nasehat Sam seperti seorang ulama yang bijak.
Tapi kurasa aku sehat-sehat saja. Dan aku harus makin waspada dengan sikapnya yang ‘baik’ itu. Sam. Sambasrio. Mahasiswa teknik mesin semester dua. Benarkah nganggur  dua tahun ? Tidak lebih ? Benarkah soal biaya ?
“Aku seperti pesakitan di depan yang berwajib,” oloknya tentang sikapku.  
Aku tak peduli. Kulirik sekali waktu merk sepatunya, celananya, jaketnya, tasnya: tiada yang istimewa! Ya sudah. Apa lagi ? Rambutnya  sedikit gondrong. Kulitnya coklat kemerahan, khas kulit kuning bersih yang sering dihantam matahari. Bodynya sedang, tidak terlalu kekar, kulit tangannya tidak terlalu halus. Sebentar dulu, matanya! Apakah matanya pura–pura mengantuk? Seperti matanya seorang mata-mata? Tapi Jil matanya juga seperti itu. Dan beberapa orang di antara kami juga matanya seperti itu.
Sudah. Tidak ada yang perlu digarisbawahi. Dia pintar nyanyi dan main gitar. Suka Iwan Fals,  Hari Rusly. Bahkan dia hafal beberapa puisinya Wiji Tukul. Nampaknya dia juga anti kemapanan. Sedikit religius juga. Di kamar kostnya yang kecil ada sajadah yang ditangkup dua, rumbai tasbih yang menyembul keluar dari tempatnya. Sajadahnya agak lusuh. Di tembok terpampang  foto-foto sebagian orang-orang besar jaman dahulu; Al Ghazali, Hasan Al Banna, Ayatullah Khomaini, Bung Hatta, Sutan Syahrir, Saddam Husein, Muammar Khadafi, dan entah siapa lagi dalam ukuran yang lebih kecil.
Kurasa dia bukan sungai yang berbahaya meski bukan  akuarium. Tapi, seperti kata Papa dan Jil aku harus tetap hati-hati, dalam kurung: waspada. Entah kenapa, oleh Om Zul sendiri pelan-pelan Sam ditarik masuk dalam forum. Yang lain tak ada masalah. Kecuali Jil nampak kurang suka. Tapi Sam cepat melebur. Walaupun dia nampak sangat lugu soal politik.
**
Langit  indah  sore itu. Aku keluar dari kampus selesai menyetor tugas Anatomi 2 pada dosen pembimbing. Ditemani Sam aku ingin duduk-duduk di tengah  padang rumput tidak jauh dari kampus. Menikmati udara sore. Sam duduk di dekatku. Aku menggeser sedikit menjauh. Dua ekor burung yang terbang lurus berjajar di udara tiba-tiba meliuk dan berpencar di atas semak-semak sana kemudian kembali pada formasi semula setelah jauh. Aku merasa ada dua orang mengintai kami dari balik semak-semak sana. Sam tak percaya.
“ Skizofrenia !” oloknya sambil mencoba mengelus rambutku. Aku mengelak halus.
Aku berdiri sambil mengibaskan remah-remah wafer yang berjatuhan ke rokku dan duduk kembali. Sam kemudian berjalan menuju warung dekat jalan sana untuk membeli dua bungkus nasi. Katanya enak makan di alam terbuka. Tiba-tiba Sam menjerit dan ketika kutoleh, dia telah berada di tepi selokan berair. Sebuah sedan warna gelap meluncur seperti setan dan menghilang di jalan yang menikung ke kiri, di depan sana.
Aku berlari ke dekatnya. “Apa kubilang, mencintaiku penuh bahaya !” kataku.
Sam tertawa. Untunglah Sam refleksnya bagus. Lengannya lecet sedikit.
Kejadian hampir serupa menimpa Om Zul di tempat lain dalam waktu selisih dua hari. Om Zul bocor di bagian kepala dan sempat opname. Motornya hancur. Jenis mobil yang menyerempetnya kurang jelas tapi berwarna gelap juga.
Tadi malam mereka mengadakan rapat untuk membahas kejadian itu. Aku dengan suka rela bertindak sebagai seksi konsumsi. Sam  sibuk membantuku tapi kadang-kadang memperhatikan Jil secara diam-diam. Mungkin kagum.
“Mungkin ini insiden biasa dan hanya kebetulan terjadinya hampir bersamaan. Namun kewaspadaan adalah tetap nafas kita.” demikian Jil menutup pertemuan itu.   
Naluriku bilang ini sebuah percobaan pembunuhan. Mungkin besok giliranku. Kuingat-ingat meski aku dan Sam sering berdua, kami belum pernah  bersentuhan secara sengaja. Tuhan, apa aku masih di jalan lurus? Apa aku masih  berhak berada dalam dekapMu?
Sam pamit untuk mudik beberapa hari saja dan  mengajakku serta. Tapi aku tahu itu basa-basi. Aku  mengelak dengan  bilang cuaca sangat buruk.  Sam tidak begitu nampak kecewa. Apakah nyalinya mulai menyusut setelah insiden kecil sore itu hampir menerbangkan jiwanya?
Nyaris  satu bulan Sam belum juga kembali. Rasa waswasku berkecambah.    Apa lagi setelah Jil  dikabarkan hilang. Beberapa kali dalam seminggu orang yang mengaku papanya, omnya, kakaknya, menelpon ke ‘markas’.  Mereka telah melacak kemana-mana. Teman-teman di ‘markas’ juga sibuk mencari tahu, di samping tetap waspada menjaga diri masing-masing. Aku mulai  mencurigai Sam. Dan mereka mulai mengungkit kedekatanku dengannya. Apalagi setelah dilacak di Pusat Data di Ruang Komputer Kampus nama Sam tidak ada. Sambasrio tidak tercatat sebagai mahasiswa teknik mesin. Kucari ke tempat kosnya. Bukan cuma Sam yang tidak ada, tapi juga ibu kostnya. Rumah itu tak berpenghuni. Apakah  mereka orang-orang yang sengaja dikirim  dari balik kabut?  
Sampai sekarang Jil belum ditemukan. Lalu Papa menelponku. Katanya besok Papa pulang. Semua tuduhan itu ternyata memang fitnah belaka. Pembunuh keluarga Jenderal SY. yang sebenarnya  telah ditemukan dan semua sudah diringkus.
“ Kau kenal Jil ?”
“Jil Baladewa?”
“Ya. Ternyata dia ular kobra hitam yang sangat berbahaya. Dia terlibat!”
Ya, Tuhan, aku telah memancing di sungai yang salah. Aku telah keliru mencurigai Sam. Tiba-tiba aku rindu Sam. Tapi Sam telah menghilang, membawa   separuh hidupku, membawa cinta dan mimpi yang kusembunyikan. Oh Sam, kemana kau menghilang? Apakah kau juga  dari balik kabut?
Sebentar dulu! Ya Tuhan, apakah Sam adalah sejenis Angel Man, Lelaki Malaikat yang khusus Kau kirim untukku karena aku telah hati-hati  menjaga hatiku? Tapi dia itu materi, dia itu tubuh, dia juga lecet lengannya? Oh!
“Pa, ada seseorang yang mencoba melindungiku. Namanya Sam. Jangan-jangan  dia terlibat dalam penangkapan Jil.  Siapa dia, Pa?” tanyaku lewat telpon.
“Lupakanlah jika kau tak mencintainya!” jawab Papa ringan.
Ya Tuhan, rupanya kekacauan negeri ini telah merebut seluruh perhatian Papa sehingga abai dengan keributan  yang terjadi di dalam dada seorang putrinya!
***
Juara Favorit LMCR LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD 2010 KATEGORI C

Tidak ada komentar:

Posting Komentar