Wak Hamid
membawa Taff-nya dengan kecepatan
sedang. Lewat separuh hari sudah waktu kami habiskan berkeliling. Berhenti di
salah satu mesjid untuk berjemaah sholat dzuhur. Di mesjid lain untuk sholat
ashar. Di mesjid lain untuk memperbaharui wudlu, di mesjid lain lagi sekedar
cuci kaki. Sebentar melihat-lihat laut biru, makan-minum di warung tepi jalan,
lalu ngajak pulang. Entah apa yang beliau mau.
“Sekarang
giliranmu nyetir Ji, lewat jalan lingkar!”
Aku patuh. Tapi kenapa lewat jalan lingkar? Apa maksud Wak Hamid? Aku
malas lewat di sana.
Sebentar-sebentar harus tekan pedal rem. Di situ ada beberapa mesjid yang baru
dibangun dengan dana menadah di jalan, dengan speaker yang nyinyir.
“Ji, setelah kita mampir di beberapa mesjid yang besar-besar itu,
menururtmu apa yang sulit dilakukan orang untuk mesjid?”
“Kurang tahu Wak. Apanya ya? Mungkin ..menjaga kebersihannya . Juga
mengisinya untuk berjemaah di lima
waktunya,” jawabku sekedarnya sambil menjaga kemudi. Itu pun berdasar apa yang
baru saja kusaksikan di beberapa mesjid itu.
“Betul, Ji, berarti kau bisa melihat dengan baik!”
O.. ini tah maksudnya jalan-jalan yang sampai menghabiskan separoh umur
hari? Kenapa tidak langsung saja tanya seperti itu? Ah, Wak Hamid memang rada
aneh, di samping pendiam, tenang, dan penuh rahasia. Tindakannya kadang-kadang
tak terduga.
Seperti itu juga sekarang. Di pertemuan rutin takmir di rumah Ustad Hayyi ini beliau tiba-tiba
menyatakan pengunduran dirinya, seraya minta maaf kepada semua anggauta jika
selama bergaul dengan mereka, terutama
sebagai ketua takmir beliau banyak khilaf. Tak hayal banyak orang yang
kaget dengan pernyataannya itu.
“Dia merasa tidak bakal terpilih
lagi pada peleburan pengurus mendatang!”
“Atau.. dia kecewa karena
pendapatnya ditolak!”.
“Jika ternyata cuma menghambat, perlu apa
didengar!”
“Dia tidak menghendaki kemajuan!”
“Memang sudah saatnya yang tua-tua mundur, memberi kesempatan pada yang
muda!”
Suara bisik-bisik itu semua dari tokoh muda. Mereka rata-rata cuma tiga atau lima tahun di atasku. Aku sendiri anggauta
takmir paling muda. Di samping karena meneruskan keanggautaan almarhum Ayah,
menurut Wak Hamid, juga untuk lebih mengakrabkanku dengan mesjid, setelah ReMasnya
stagnan.
Pertemuan malam ini tidak membahas issue peleburan pengurus, melainkan
khusus berembuk tentang rencana pemugaran mesjid. Sebagian anggauta takmir
menghendaki mesjid dipugar total . Wak Hamid sebetulnya setuju saja, asal
dananya jangan menadah di jalan-jalan. Ini yang dibantah oleh kebanyakan kalangan
muda, bahkan dipotong sebelum pembicaraan beliau tuntas . Lalu terjadi
perdebatan antara yang pro dan kontra. Masing-masing dengan argumentasi yang
panjang lebar. Wah Hamid diam saja.
“Saya pikir tidak apa-apa nadah di
jalan asal kita tetap menjaga kesopanan..”
“Tapi itu akan merusak citra agama kita sendiri,” sanggah yang pro Wak
Hamid.
“Tidak juga. Kadang mereka tidak sempat kalau tidak ditadah begitu!”
“Kadang yang ikhlas yang sedikit-sedikit begitu!”
“Ya, itu kesempatan bagi yang tidak bisa menyumbang banyak!”
Akhirnya lebih banyak yang setuju
dipugar total dan boleh menadah di jalan. Terutama tokoh-tokoh mudanya. Wak
Hamid tetap memilih diam saja. Lantas
setiap anggauta ditanya dan dicatat berapa kesanggupannya menyumbang. Kecuali
aku, semua orang menyebut angka-angka rupiah dari seratus ribu sampai lima juta. Atau semen
beberapa sak. Aku bilang siap menyumbang tenaga kapan saja diperlukan.
Nampaknya semua orang maklum. Ketika tiba giliran Wak Hamid, beliau menyebut lima ratus ribu. Kulirik
banyak orang toleh-menoleh temannya lalu sedikit mencibir.
“Nyumbang segitu aja , berani larang-larang!” gerutu di samping kiriku.
“Pelit, sok gengsi!” timpal di sisi kananku.
Aku diam. Takut keliru. Andaikata aku jadi mereka, tidak akan kupotong
pembicaraan orang tua yang pendiam seperti Wak Hamid. Sebab kalau tidak
penting, tentu beliau tak akan bicara.
Sebab, yang aku tahu, Wak Hamid tidak seperti itu. Bahkan beliau pernah
berkata padaku dulu begini;
“Ji, kau harus belajar nyetir mobil ini! Besok-besok, ini kau yang pakai
buat keperluan mesjid dan jemaah yang butuh pertolongan.”
Aku diam saja, dipukau rasa haru , heran dan setengah tak percaya.
“Ji, kau tahu kenapa aku senang
dapat akrab denganmu?”
Aku menggeleng. Malu. Sesungguhnya,
akulah yang mesti bersyukur dapat akrab dengan beliau. Bisa menimba ilmunya,
belajar kesabarannya, dan menjadi sasaran kedermawanannya.
“Engkaulah Ji, seorang remaja, enam tahun yang lalu, ketika aku ingin menetap
kembali di tanah air dan mencari tanah untuk bikin rumah, engkau kulihat begitu tulus menyapu lantai mesjid, di siang
hari, saat teman-teman seusiamu sibuk bermain. Ketika itu, aku seperti melihat
mimpinya Imron dan Hannah, dalam
Al-Qur’an, yang bercita-cita kalau
anaknya kelak lahir lelaki, akan dipersembahkan kepada Allah, dengan cara
merawat Baitul Maqdis atau Mesjid Al Aqsha…”
“Lalu anak mereka laki-laki, Wak?”
“Tidak. Dia perempuan. Tapi akhirnya dia termasuk salah seorang dari
empat wanita terbaik di surga..”
Aku diam, dalam renungan dan haru biru.
“Lalu aku berusaha mendapatkan
tanah ini, meski mahal, agar dekat dengan mesjid. Dan aku punya cita-cita yang
besar untuk mesjid kita itu Ji, semoga Allah merestui…!”
Amiin.. sambutku di hati meski tak
tahu apa cita-cita besar itu.
“Kau tahu kenapa aku punya cita-cita besar
untuk mesjid itu, Ji?”
Aku tergagap dan spontan saja menggeleng.
“Karena aku yakin kau tulus
merawatnya! “ Tanpa hiraukan aku yang masih
terharu biru beliau melanjutkan :
“ Dan sepeninggalku nanti, Ji, kau akan dihubungi oleh salah seorang putriku. Ada hal penting yang
telah kurembuk dengan mereka berkaitan denganmu dan mesjid itu .”
“Mereka sekarang dimana Wak?” tanyaku penuh ingin tahu. Aku hanya tahu
mereka pulang ke rumah Wak Hamid sebentar
ketika ibu mereka wafat tiga
tahun lalu kurang sedikit.
“Mereka ikut suaminya. Satu di Brunai, satunya di Yaman Selatan. Tapi
tolong belajarlah diam. Allah mencintai hambaNya yang pendiam.”
“Tapi, Wak, memangnya Wak mau
kemana pakai berwasiat segala?”
“Lho, Ji, setiap yang berjiwa itu pasti akan mati. Dan bicara kematian
itu perlu setiap saat agar kita punya
kesadaran untuk selalu bersiap-siap..”
Aku merinding. Dan sekarangpun aku merinding. Jangan-jangan pengunduran
diri Wak Hamid ini tidak karena beliau tersinggung seperti dugaan mereka. Dan
permintaan maafnya itu lebih sebagai sebuah isyarah. Seperti bahasa mentari
yang hampir angslup ke dalam malam.
Aku ingat suatu sore,selepas shalat ashar berjemaah, beliau pernah
bertanya pendapatku tentang isyarah,
“Ji, kau percaya dengan isyarah?”
“Maksud Wak, firasat?”
“Ya. Percaya?”
“Kata orang, itu sih tahayyul Wak. Sebab kadang itu hanya kebetulan
saja.”
“Tidak Ji. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan . ‘Kebetulan’
itu hanya bahasa ketidaktahuan kita. Sebab selembar daun yang jatuh di
kegelapan rimba itu pun sudah ada dalam rencana Allah. Sudah tertulis di Laoh
Mahfudz. Dan setiap kejadian pasti ada maksudnya, sebab Allah tak pernah iseng.
Bahkan bagi orang tertentu, semua dapat berbicara. Hanya karena manusia banyak
yang lalai, seperti aku, tidak mengerti ‘bahasa Tuhan yang menyamar’ ”
Aku mengangguk takdzim . Dan dalam kekhusyukan begini aku tak ingin
merusaknya dengan desis selirih apa pun. Meski di dalam otakku sebetulnya
sedang menggganjal pertanyaan; lalu, kalau begitu, buat apa kita ini berusaha,
bekerja misalnya, jika semua sudah ditentukan Allah.
“Berusaha itu wajib, Ji. Sebab kita belum tahu rencana Tuhan. Dan selama
kita masih makan-minum, kita harus bekerja, gerak, agar tak terjadi
penumpukan energi di dalam tubuh. Kalau kita hanya diam saja itu namanya
mubadzdzir, jadi penyakit. Biasanya orang akan dimudahkan bagi apa yang
ditakdirkan untuknya.Tapi jika luput dari keberhasilan, harus bersabar, itu ada
pahalanya tersendiri..” paparnmya jelas. Entahlah, hanya padaku Wak Hamid mau
bicara banyak, dan tentunya jika sesuatu itu dianggap sangat penting. Mungkin
karena beliau tahu aku suka mendengarkannya. Kupikir, ini keuntunganku; dapat
menimba banyak ilmu dari beliau.
Ketika pertemuan selesai, Wak Hamid dan beberapa orang tokoh kalangan tua
tidak langsung pulang. Mungkin sengaja untuk omong-omong kecil.
“Yang paling afdol sebetulnya bagaimana memakmurkan mesjid dengan
memperbanyak kegiatan yang dapat menumbuhkan kesadaran bertaqwa, menarik banyak
jemaah, bukan cuma memperbesar fisiknya!”kata Haji Saleh, wakil ketua takmir..
“Ya, ndak tahulah, mungkin setelah fisiknya besar dan bagus, para
generasi muda akan tertarik masuk ke
mesjid, “ timpal Ustad Hayyi, agak moderat.
Wak Hamid masih diam. Kadang tersenyum kecil. Kucari kalau ada burat
kecewa di wajahnya. Tidak, wajah beliau tetap teduh, tenang dan penuh rahasia.
Pukul 21.00 kami bubar. Wak Hamid mampir ke rumah gubukku. Seperti ada yang
ingin dibicarakan secara khusus entah apa. Mungkin berkenaan dengan statusku di
takmir. Sejak kematian Ustad Hanif, bendahara, lima bulan lalu, anak-anak kunci kas amal
mesjid diserahkan padaku untuk
sementara. Baru kemudian, atas usul Wak Hamid, resmi disetujui aku sebagai penggantinya,
tentu saja merangkap sebagai petugas bersih-bersih. Untuk yang terakhir ini
memang aku yang minta. Aku tak punya apa-apa untuk disumbangkan kecuali tenaga.
Jadilah semua anak konci mesjid ada di tanganku.
Namun tunggu punya tunggu ternyata Wak Hamid tidak berbicara apa pun kecuali sebuah kalimat pujian: “Wak
yakin kau akan teguh dan lurus dalam menjaga
amanah. Tentu saja, Ji, memang
harus punya kesabaran ganda dalam mengurusi milik orang banyak,” katanya.
“Insya Allah Wak!” Aku mengangguk-angguk.
***
Sekarang pun aku hanya bisa mengangguk-angguk. Seperti mulai
dapat membaca makna isyarah-isyarah itu.
Sebab sekarang Wak Hamid sudah tiada. Ya, tadi malam. Malam Jum’at pukul 24.00.
Pagi ini jenazahnya akan dibumikan. Tidak ada yang perlu dinanti. Sebab kedua
putrinya dan menantu-menantunya kebetulan sedang berkunjung ke sini sejak dua
hari lalu. Ah, kebetulan lagi! Tidak ada sesuatu yang kebetulan!
Tapi semua orang kaget juga dengan kematian Wak Hamid yang tiba-tiba itu.
Lalu sebagian merasa bersalah. Terutama yang telah berburuk sangka atas
pengunduran diri Wak Hamid. Pagi itu, di pemakaman, meraka berbincang seputar
pamitnya Wak Hamid dan permintaan maafnya, seolah sebagai isyarah bahwa usianya
telah hampir tutup. Bahkan ada yang mengira-ngira jangan-jangan ketika pamit
mengundurkan diri itu Wak Hamid telah tahu kalau beliau empat jam lagi akan
pergi untuk selamanya. Apa lagi setelah dikaitkan dengan kedatangan kedua putri
dan menantu-menantunya. Seolah mereka memang diminta untuk menyaksikan dan
menemani akhir-akhir hayat beliau.
“Áh, itu kebetulan aja!” sanggah seseorang .
“Mana mungkin seorang yang begitu pelit dikasih keistimewaan begitu!”
timpal temannya.
Aku diam saja, seperti tidak mendengar. Tapi menururtku, mungkin Wak
Hamid mau menyumbang lebih banyak lagi,
seandainya mereka tidak buru-buru memotong pembicaraannya., sehingga mengerti
apa sebetulnya kelanjutan dari usulnya itu. Kadang-kadang orang muda suka main
tembak-tembakan saja kalau bicara tanpa mempertimbangkan perasaan orang yang
punya telinga. Inilah lapisan yang mulai terkelupas dari sebagian generasi
sekarang; sopan santun! Lagi
pula, kalau aku jadi Wak Hamid, buat apa menyumbang banyak-banyak. Bukankah
mereka lebih mengandalkan hasil tadahan di jalan-jalan itu? Jadi, logis juga
keputusan beliau itu. Hampir saja aku
membelanya, andai tak segera membayang wajah beliau yang teduh, membuat aku merasa lebih baik diam.
***
Sampai lepas tujuh hari dari kematian
Wak Hamid, aku belum juga dipanggil secara khusus oleh salah seorang putri
beliau. Apakah beliau lupa memberitahu putrinya tentang cita-cita besar itu?
Baru ketika mereka hendak pulang dan aku diminta mengantarnya ke bandara aku
diberi tahu beberapa hal..
“Mas Pamuji ingat rencana Ayah
tentang mobil ini, dulu?”
“Ya, ingat,” jawabku kaku. Ragu apa
mau panggil mbak atau adik.
“Dan sejak sekarang, rumah dekat
mesjid yang tak seberapa isinya itu menjadi milik sampean. Ini konci-koncinya.
Sertifikat penghibahannya ada di dekat komputer di kamar beliau. Tolong makam
beliau sesekali dibersihkan, ya!” jelasnya sambil menaruh rentengan anak konci
di depan kemudi. Aku hanya sanggup menganguk. Terlalu dipukau oleh rasa haru,
lupa untuk berucap terima kasih. Tapi sama sekali mereka tidak bicara soal
mesjid. Apa beliau memang lupa?
***
Sekarang Jum’at kedua sejak kematian
Wak Hamid. Sebentar lagi ba’da sholat Jum’at ada rapat pengurus takmir di
beranda mesjid untuk penegasan rencana pemugaran itu. Juga giliran pembukaan brangkas amal mesjid
yang dua minggu sekali. Seperti disarankan Wak Hamid aku sungguh hati-hati
menjaga amanah itu. Tapi ketika kotak
amal itu hendak dibuka, semua orang terkejut. Tidak ada satu pun anak konci yang
pas untuk membuka gemboknya. Berganti-ganti orang telah mencobanya dan saling
membodohkan. Setelah diteliti ternyata tidak ada nomor anak kunci yang sesuai.
“Owalaaa.. ini gembok baru! Gembok lama
mungkin dicukil orang dan digantinya dengan yang baru! Lihat ini bekas
cukilannya!”
“Wah, kita kecolongan! Pasti telah ludes
isinya!”
“Keterlaluan sekali kalau ada orang berani
nyolong milik mesjid!”
“Dik Pamuji yang pegang semua kunci pintu mesjid masa tidak
tahu siapa orangnya?” tanya Ustad Saleh, sumbang di telingaku. Semua mata
tertuju padaku. Tentulah wajahku sekarang sangat pucat pasi.
“Sungguh saya sangat menjaga amanah itu, Pak.
Anak kuncinya selalu saya simpan dengan baik sejak menerima dari Wak Hamid lima bulan yang lalu..”
suaraku bergetar.
Akhirnya
gembok itu dicongkel paksa. Dan
setelah terbuka semua mata terbelalak.
“Sumbangan misterius dengan jumlah
besar…!!” pekik beberapa orang yang berkerumun. Mata mereka melotot takjub.
Hatiku plong. Rongga dadaku seperti baru menemukan udara segar untuk bernapas. Mereka lantas menghitung
bindelan uang kertas baru seratus ribuan yang belum bergeser sedikitpun dari
kertas bendelnya itu . Jumlahnya cukup besar. Satu milyar lebih. Cukup untuk
membangun mesjid agak mewah untuk ukuran
desa. Ustad Hayyi segera mencatatnya di buku kas, mewakiliku. Tapi ketika
hendak menulis nama si penyumbang dia terjengah.
“Mau ditulis apa nama penyumbang
misterius ini?” tanya ustad Hayyi.
Beberapa jemaah yang ikut menyaksikan ikut
bingung.
“Ndak usah repot; tulis saja ‘Sumbangan
dari langit!’ Toh bila Tuhan sedang berkehendak, sebab-sebab menjadi tidak
begitu penting!” celetuk seseorang.
“Setuju….!! “suara koor yang lain.
Ah, pinter juga mereka menyesuaikan
pendapatnya dengan situasi yang ada. Kenapa tidak sejak awal berpendapat begitu?
“Yang penting, kita bisa membangun mesjid
tanpa menadah di jalan!” timpal seseorang dari golongan tua, membuat beberapa
orang dari golongan muda terjengah.
Setelah
rapat bubar mereka terus berbincang dan saling tanya siapa si penyumbang
misterius itu. Aku segera pergi ke toilet mesjid, membersihkan kerak-kerak yang
melekat di dinding dan lantainya. Tapi aku juga terus berpikir siapakah
gerangan penyumbang misterius itu? Dan aku jadi ingat kata-kata almarhum Wak
Hamid dulu padaku:
“Ji, orang bilang tidak ada rejeki
menggelinding begitu saja dari langit. Kau percaya?”
“Menurut Wak sendiri?”
“Nabi Musa, Nabi Isa, pernah diberi
makanan langsung dari langit. Bahkan Siti Maryam dikirim buah-buahan langsung
ke mihrabnya dari surga…”
“Itu kan
para Nabi dan orang-orang suci, Wak..”
“Bukan soal Nabi tidaknya , Ji. Tapi iman
dan hubungan kita kepada Allah, istimewa
ndak? Kalau hubungan kita istimewa, tentu Allah akan memberi kita dengan cara
istimewa pula.”
Aku mengangguk saja. Dan sejak aku
membulatkan diri menjadi petugas bersih-bersih mesjid ini, dulu, tiga atau
empat hari sekali, setiap menjelang subuh selalu kudapati sebungkus beras,
gula, kopi bubuk dan lain-lain dalam satu tas plastik tergantung di dinding
kayu rumahku. Jika hari-hari menjelang hari raya, isinya bertambah; ada sarung,
bajo koko, dan peci serta sandal. Aku mula-mula ragu untuk mengambilnya. Tapi
ibuku, yang memang tahu betul kebutuhan hidup kami berpendapat.
“Itu sering dilakukan para sahabat Rosul
dulu, Ji. Konon untuk menghindari riya’. Ambil saja. Kita anggap saja itu dari
Allah lewat hamba-hambaNya yang mulia,” begitu pendapat ibu.
Berkali-kali kuselidiki siapa yang datang
malam-malam ke rumahku. Beberapa malam sengaja aku menunda tidur tapi dasar
kelelahan, selalu saja terlelap dan kehilangan jejak. Akhirnya bosan juga aku
memikirkannya dan aku mulai setuju pendapat ibu. Tapi sejak dua minggu yang
lalu, sejak Wak Hamid wafat, tak pernah ada lagi bungkusan seperti itu
tergantung di dinding rumahku setiap pagi buta.
LMCP
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar