(disajikan dalam DIALOG SASTRA NASIONAL, BEDAH BUKU
DAN PARADE BACA PUISI –“Workshop
Penulisan Kreatif dan Apresiasi Sastra”
oleh Lembaga Kajian Seni Budaya “Net Think Commonity”)
Pendahuluan
“Tuhan, aku tak paham kenapa Engkau berhenti
menurunkan nabi-nabi di zaman yang justru membutuhkan lebih banyak para nabi
ini!”, tulis Emha Ainun Najib dalam ’99
Untuk Tuhanku’. Demikianlah maka
menjadi menarik ‘membicarakan’ Konsep Sastra Profetik (kenabian) di tengah
gejala kebebasan yang cenderung kebablasan terutama dalam perbincangan
wacana sastra Indonesia
saat ini.
Entah apa
sebabnya di belantara sastra Indonesi
kini tiba-tiba marak para perempuan yang mengekspresikan dirinya dalam karya prosa fiksi yang terang-terangan menguak
hal-hal di seputar lendir dan selangkangan. Hal ini sempat menjadi polemik di
media massa antara dua kubu yang pro dan yang kontra.
Bahkan Katrin Bandel telah menuliskan
situasi demikian dalam bukunya: Sastra, Perempuan, Sex sebagai berikut:
Dalam dunia sastra Indonesia saat ini , “perempuan” dan “seks” merupakan dua issue yang amat penting. Terutama perempuan dalam arti “pengarang perempuan” dan “seks” sebagai tema sastra….. “ asal berbau seks, apa lagi pengarangnya perempuan, pasti laku” (hal.xvii)
Kemungkinan
apakah yang menjadi penyebab munculnya fenomena ini? Pertanyaan inilah yang
menggelitik penulis untuk sekedar ‘urun
rembuk’ dalam perbincangan itu.
Terjebak Budaya Massa
Budaya massa adalah produk dari mayoritas yang “tak
berbudaya”, yaitu manusia massa, tulis Kuntowijoyo dalam Maklumat Sastra
Profetik. Yang ada hanya latah.
Keindahan hanyalah ketika sesuatu sedang ngetrend
dan digemari umum. Ketika soal sex dapat begitu mudah diakses di setiap
media massa
maka manusia massa
pun mendukung pemarakannya. Arus deras Golbalisasi yang dipicu oleh
penemuan-penemuan baru yang spektakuler di bidang teknologi terutama teknologi
komunikasi telah meretas sekat-sekat ruang dan waktu , memungkinkan
interaksi nilai dari segala sudut jagad
menjadi sangat mudah sehingga sebagian
kita tak mampu mengelakkan diri
dari efek buruk yang ditimbulkannya, antara lain adalah rontoknya tatanan nilai
dari budaya-budaya adiluhung yang kita miliki.
Budaya massa,
manusia massa, lahir di tengah masyarakat teknologis. Menurut Gabriel Marcel,
seorang filsuf Eksistensialis-Katolik , di dalam masyarakat teknologis, manusia
tidak lagi memahami dirinya berdasar gambaran tentang Tuhan (the image of God) melainkan berdasar
gambaran tentang mesin ( the image of
machine). ( Kuntowijoyo,
Horison , Mei 2005). Masyarakat
teknologis adalah masyarakat korban penjajahan teknologi, yang tak lain adalah
icon budaya progress modern. Dehumanisasi dengan ciri-ciri objektivasi manusia, agresivitas, loneliness dan spiritual alienation lahir di sini.
Tidak berlebihan jika Bernard James mengecam bahwa “ Kekuatan mautnya harus
kita hancurkan sebelum kekuatan itu menghancurkan seluruh umat manusia. Ialah
budaya progress modern!”
Dan mereka, para
pengarang muda pemuja kebebasan itu, telah hidup dan ‘menyusu‘ dari realitas
hidup yang dikelilingi oleh atmosfier budaya progress modern sehingga sangat
mungkin jika tatanan nilai di dalam ‘diri’ mereka telah terkontaminasi olehnya. Memang benar tak mungkin ada ruang yang tak terkondisi oleh ruangan
lain di sekitarnya. Hanya persoalannya bagaimana kita mengelola suasana di luar
diri kita untuk menjadi sesuatu yang lebih ‘bermakna’ bagi fitrah kemanusiaan.
Bukan kemalaikatan, bukan juga kebinatangan.
Kecenderungan Baru
Atau mungkin ini
sebuah efek wajar dari sebuah kecenderungan baru dunia sastra Indonesia yang mana unikum -- sangat urgens kedudukannya dalam
karya sastra, lebih didasarkan pada pilihan
tema atau objek cerita saja. Bukan
pada gaya
penulisan (style). Padahal style inilah yang paling kuat membedakan
karakteristik seorang pengarang dengan pengarang lain. Di samping itu, bukankah
meletakkan keunikan pada objek cerita itu
sama dilematisnya dengan mengabadikan
keperawanan dan keperjakaan seseorang atau mengumbarnya. Keperawanan dan keperjakaan itu hanya sekali
saja adanya. Begitu pun soal
keunikan objek cerita dalam sebuah karya
prosa fiksi. Bila suatu objek selesai
digarap untuk kedua kalinya bukanlah sebuah keunikan lagi. Dan ini cenderung
memicu naluri ketidakpuasan untuk terus
merambah kawasan baru hingga daerah-daerah yang tak semestinya disentuh apa
lagi dikoyak- moyak sehingga menyebarkan ‘bau tak sedap‘ bagi penciuman budaya
kita.
Sekali lagi tak
bisa disangkal bahwa unikum memang sesuatu yang termasuk urgens kedudukannya
dalam konsep seni modern yang mana ‘seni’ didefinisikan sebagai sebuah kegiatan
kreatif. Bahkan unikum sebagai salah satu ciri kreativitas itu sendiri.
Persoalannya di manakah sebaiknya keunikan itu disandangkan dalam karya sastra?
Dalam tema, pilhan objek atau gaya
penceritaan (style)?
Sebetulnya ini
bukan hanya persoalan dunia sastra . Di dunia seni rupa juga terjadi hal yang
sama. Munculnya isme-isme baru dalam seni rupa tidak selalu dari pencarian tema baru tapi
tak jarang juga dari penggalian cara ungkap. Perbedaan Romantisme,
Realisme dan Surealisme itu memang soal tema. Romantisme mengangkat tema tentang
manusia-manusia ‘besar’ sedang realisme justru mengangkat kehidupan orang-orang
kelas akar rumput. Surealisme yang mengangkat dunia alam bawah sadar
manusia toh hanya efek rambahan dari
ditemukannya teori Psycho Analisis-nya
Sigmund Preud. Tapi ekspressionisme, impressionisme, kubisme dan dadaisme hanya berbeda soal cara ungkap, dan di sinilah justru lebih terlihat karakteristik
pelukisnya.
Tentu saja
merambah tema dan objek baru yang belum
pernah disentuh dalam mencipta karya seni dapat menggemparkan. Tapi toh tidak selalu berarti bagus. Sebuah
anekdot tentang mahasiswa Jepang dan mahasiswa Indonesia yang berdebat tentang kemajuan bangsanya masing-masing cukup kena untuk menggambarkan
ini. Mahasiswa Jepang bilang bahwa ilmu arsitektur Jepang sudah demikian
majunya sampai bisa membangun sebuah gedung pencakar langit. Ah, masa sampai
mencakar langit? Begitu protes mahasiswa Indonesia. Okelah lebih rendah
sedikit, jawab mahasiswa Jepang. Yang Indonesia
bilang bahwa ilmu kedokteran di Indonesia
juga tidak kalah maju. Para ibu di Indonesia
sudah bisa melahirkan dari pusarnya. Ah masa dari pusarnya? Tanya mahasiswa Jepang.
Okelah lebih rendah sedikit, jawab mahasiswa Indonesia. Di dunia sastra juga
demikian. Karena kita tak mampu bercerita tentang tetek bengek dunia luar
angkasa misalnya, kita ambil saja
tema-tema di bawah pusar sedikit. Ternyata cukup menggemparkan juga.
Sebuah Ideologi
Ketika Prof. Dr.
Kontowijoyo memaklumatkan Konsep Sastra Profetik ( 21 Januari 2005, dimuat Horison bulan Mei 2005) saya sudah
menduga bahwa nantinya itu akan berbenturan dengan para pemuja ‘kebebasan tak
terbatas’. Beruntunglah Guru Besar UGM
itu sudah meninggal sehingga tak perlu
capek-capek berpolemik –misalnya - dengan Benhad Nurrahmat, Hudan Hidayat,
Djenar Mahesa Ayu dan lain-lain para pendukung
‘Memo Indonesia’ tentang seputaran
apa yang kemudian disebut GSM (Gerakan Syahwat Merdeka), SMS (Sastra
Mashab Selangkangan), FAK (Fiksi Alat Kelamin) dan sejenisnya. Cukuplah Taufiq
Ismail saja yang dicap sebagai ‘Penghujat Sastra ’ oleh Benhad Nurrahmat dalam tulisan ‘Malu Aku Jadi Penghujat
Sastra’
yang menurut Maman S.
Mahayana itu sebuah misinterpretasi Benhad Nurrahmat tentang substansi ungkapan
Taufiq Ismail. Sebab yang dihujat Taufiq Ismail
bukan Sastra Indonesia
tapi eksploitasi seks dalam sebagian karya fiksi yang mengaku sebagai warga Sastra
Indonesia
.
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.gif)
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image006.gif)
Kenapa saya
katakan sudah menduganya? Romo Mangun
Wijaya pernah berkata dalam bukunya ‘Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa’ bahwa
teknologi adalah anak-anak ideologi
juga. Tentu demikian juga sastra. Sebab apa pun hasil kegiatan manusia adalah
efek dari cara pandangnya terhadap
hidup, yang tentu juga berimbas pada cara pandangnya tentang kebahagiaan. Setiap orang, tentu saja bebas memilih
sebuah pandangan hidupnya sendiri , ideologinya sendiri. Atau seseorang
membutuhkan proses yang tidak sama dengan orang lain dalam memperoleh sebuah pandangan hidup yang mantap
sebab itu terkait dengan perkembangan kepribadian masing-masing individu. Pramodya Ananta Toer pernah
mengatakan bahwa dia merasa ‘terlalu banyak lendir’ pada
Bumi Manusia, novelnya yang terkenal
itu. Apa kata Ayu Utami tentang itu?
“ Saya sungguh berterima kasih pada Pramodya, juga, jika dia sungguh
berpendapat bahwa ‘masa berlendir’ itu
telah lewat baginya kini. Dan belum bagi saya. Tentunya ketika menulis Bumi
Manusia, masa itu belum lewat-lewat amat bagi dia”. ![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image008.gif)
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image008.gif)
Perspektif
Kaum Feminis
Feminisme --
yang kini deras berhembus ke mana-mana, barangkali tak terkecuali juga ke ruang ideasional para perempuan pengarang
muda kita, mempunyai kecenderungan mencari hubungan antara sastra dengan
ideologi, di mana budaya, sejarah, psikologi
dan realita perempuan menjadi
acuan sebuah karya. Perjuangan utama Feminisme secara konseptual ataupun nyata, menurut Adrienne Rich, seorang
penyair dan kritikus Amerika, adalah menentang pandangan dualisme artivisial yang dipaksakan
kepada kaum perempuan oleh budaya
patriarki, misalnya alienasi ideologi atau kesadaran (consciousness) dari realita fisik ( physical reality) . Rich jugalah yang menggagas istilah ‘Re-vision’
yang kemudian menjadi slogan kaum feminis kontemporer untuk menuntut peninjauan
kembali historis, cultural dan psikis
dari masa lalu budaya perempuan.
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image010.gif)
Celakanya,
istilah patriarki pada saat ini sudah begitu saja diidentikkan dengan yang
opresif dan ingin mengontrol serta menguasai. Maka bisa jadi fenomena di atas
adalah sebagai reaksi yang berlebihan dari
kaum perempuan terhadap kondisi sosial yang menurutnya sangat mencekam itu. Padahal
menurut Julia I Suryakusuma, sebetulnya ada juga ‘patriarki positif’ yaitu yang bersifat
melindungi, menuntun, membimbing dengan cara yang tidak memaksa, yang setia
dengan prinsip, yang bijak, dan bisa dijadikan panutan. Sebenarnyalah menurut dia, yang menjadi persoalan
masyarakat masa kini adalah absennya sosok ‘bapak’ yang baik , semisal Nelson
Mandela atau dulu Gandhi.
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image012.gif)
Jika pun itu
alasannya, toh muatan perjuangan kesetaraan gender tidak harus dimanefestasikan dengan cara mengeksploitasi sex secara
vulgar dan ‘berlebihan’, sehingga harus
muncul teks sastra yang belepotan lendir di mana-mana. Satu buktinya, Geni Jora
karya Abidah El Khaileqy
tidak demikian.
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image014.gif)
Dunia Sekitar Selangkangan
Sebetulnya
‘daerah itu’ hanya satu dari sekian ribu benda lain yang dapat menjadi objek
cerita atau pun tema dalam karya fiksi atau khususnya karya sastra. Bagi mereka yang memiliki
kreativitas, apa-apa yang ada di luar ‘daerah itu’ tak akan pernah kering meski
terus menerus dikuras. Jika selama ini sastrawan- sastrawan lain tidak
menyentuh ‘daerah itu’ , itu bukan berarti mereka tidak punya kemampuan untuk
mengembangkan ide tentang sebuah sudut
yang amat tersembunyi di bagian tubuh kita tersebut. Tapi karena rasa malu. Mereka masih menjaga jangan sampai
sisa rasa malu yang tinggal sedikit di negeri yang konon beradab ini habis sama
sekali. Jika seorang sastrawan pun ( dahulu begitu sangat dimuliakan dengan
sebutan pujangga) tidak menjaganya, lalu apakah para politikus dan ekonom yang dunianya memang begitu rawan cobaan itu
yang akan menjaga?
Seorang teman
sastrawan , ketika saya tanya tentang rame-rame soal sastra lendir atau sastra
selangkangan tersebut menjawab begini:
“Jika dengan air putih saja kita bisa membuat sekian ribu macam minuman yang
dahsyat, kenapa mesti sampai minum air kencing
sendiri? Itu berarti sebuah kemandegan kreativitas Bung! Apa lagi
sengaja menjadikannya sebagai ciri khas, wah!”
Hemat saya, yang
menggemparkan sebetulnya bukan karena ada atau tidak adanya sex action di dalam teks sastra melainkan
pada gaya pengungkapannya yang vulgar dan eksploitatif. Olenka-nya Budi Darma,
juga tidak sungguh sepi dari teks sex.
Akan tetapi pada Olenka sex tak lain sekedar sebuah tuntutan alur dan lebih dari
itu dibungkus dengan gaya bahasa atau pun metafora yang kreatif dan di sinilah
kreativitas kesastraan seorang pengarang sebetulnya ‘diminta’.
Konsep Sastra Profetik Kuntowijoyo
Menurut Prof. Dr.
Kuntowijoyo (alm) ide awal konsep Sastra Profetik itu terinspirasi oleh pribadi Nabi Muhammad
sendiri, Sang Prophet. Walaupun beliau diangkat mi’raj dan ‘berjumpa’ dengan Tuhan ketika itu --suatu hal yang amat
dirindukan kaum sufi, sampai seorang di antaranya berkata: “sumpah jika aku
yang diangkat dan bermuwajjah dengan Tuhan, aku tak akan kembali lagi ke
bumi!”. Tapi Sang Prophet tidak terlena
dan menetap di sana,
melainkan kembali lagi untuk peduli dan mengurusi umat manusia di bumi.
Demikian juga para prophet atau
nabi-nabi yang lain.
Konsep Sastra
Profetik adalah sebuah konsep sastra yang peduli. Kaidah-kaidahnya merujuk pada
pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci terhadap realitas, tentu, untuk
pemeluk agama apa pun sebab semua agama pasti tidak akan pernah mengajarkan
kejahatan. Tiga etikanya adalah 1. Amar ma’ruf ( menyuruh kebaikan /humanisasi), 2. Nahi mungkar ( mencegah
kemungkaran / liberasi) , dan 3.
Tu’minuna billah ( beriman pada Tuhan/ transendensi).
Menurut Kuntowijoyo,
penggagasnya, Konsep Sastra Profetik itu
berbeda dengan Konsep sastra Sufistik-nya Abdul Hadi WM. Aspek sufistik hanya sepertiga saja dari Konsep Etika Sastra Profetik,
yaitu pada bagian transendensi- nya
saja. Sedangkan dua pertiga yang lain adalah Amar Ma’ruf /humanisasi
dan Nahi Munkar/liberasi,
untuk menghindarkan diri dari hal-hal
buruk semacam dehumanisasi yang sudah menggejala di tengah kehidupan manusia
Indonesia yaitu antara lain; objektivasi manusia (secara teknologis, ekonomis,
budaya) , agresivitas dan kriminilitas baik oleh perorangan atau kelompok,
penindasan oleh politik dan negara, loneliness (individuasi), dan spiritual alienation (keterasingan
spiritual) dan ‘demoralisasi” yang
sedang kita bicarakan.
Jika Maklumat
Sastra Profetik Kuntowijoyo ini
dianut oleh para
sastrawan Indonsia, maka para sastrawan
Indonesia, melalui karya-karyanya, mau tak mau harus mempunyai tanggung jawab
sebagai penyelaras kehidupan, pelanjut risalah nabi-nabi, sebagai khalifah di
bumi, sesuai konsep Tuhan sendiri tentang penciptaan manusia. Dengan begitu,
setiap gerak-diam manusia khalifah, termasuk dalam bersastra, merupakan
manefestasi dari tugas kekhalifahan tersebut. Sehingga keberadaannya (baca:
keterciptaannya ) tidak sia-sia belaka sebab Tuhan tidak menciptakan segala
sesuatunya sebagai sesuatu yang sia-sia.
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image016.gif)
Kesimpulan
Tuhan sendiri
‘dawuh’ dalam sebuah kitab suci, bahwa
akan diturunkan kepada setiap seorang nabi
itu musuh, yaitu dari golongan pendurhaka . Bukankah ini sejarah lama
yang berulang-ulang? Bukankah sorga dan neraka, baik dan buruk memang dibuat
dalam satu paket? Bukankah sorga dan neraka memang harus sama-sama terisi? Jadi
di setiap zaman dan ruang akan muncul ‘nabi-nabi’ baru dan ‘pembangkang-pembangkang’ baru.
‘Nabi-nabi baru ’ itu ya tentu saja
akan terus berjuang demi tegaknya kebenaran. Begitu pula para ‘pembangkang’ itu
juga akan terus berjuang sampai titik lendir yang penghabisan yang nantinya
akan berujung pada dua alternatif ; ‘sadar dan taubat’ atau ‘mati membawa kutukan’.
Akan tetapi
barangkali tidak harus seseram itu. Mungkin kesimpulan sederhananya adalah
bahwa sebuah karya sastra harus mempunyai apa yang disebut moral cerita! Tentu
saja moral cerita bukan melulu moral agama saja. Dan soal apa itu moral, Bangsa
Indonesia
sudah memiliki poin-poin acuannya yang disebut nilai-nilai luhur dan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Lalu bagaimana
misalnya dengan ‘cerita tanpa cerita’ seperti cerpen-cerpen Umar Kayam yang
dikatakan Arief Budiman sebagai cerita yang tidak mengandung
cerita, sebab temanya ternyata hanya nonsense.
Anehnya, yang demikian
justru sesuai dengan apa yang dikatakan Budi Darma: “Pengarang adalah seseorang
yang bisa menceritakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada ceritanya.” ![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image020.gif)
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image022.gif)
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image018.gif)
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image020.gif)
![](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CX-TREM%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image022.gif)
Untuk itu tentu
ada pilihan lain, merujuk sebuah sabda Nabi:
Falyaqul khairan aw liyashmut ; berbicaralah
yang baik atau lebih baik diam! Bukankah
diam (seperti cerpennya Umar Khayam, tidak melakukan tindak amoral) , adalah
sebuah kebaikan juga?
***
Surabaya 2009
Rujukan:
- Bandel, Katrin, Sastra, Perempuan, Sex : Jalasutra, Yogyakarta 2006
- Media Indonesia, 22 Juli 2007
- Media Indonesia ,5 Agustus 2007
- Tulisan Ayu Utami ‘Moral Cerita’ Lembar Budaya Sindo 16 Sept. 2007
- Rich, Adrienne, Of Women Born: Motherhood as Experience and Institution ( WW Norton, New York 1976)
- Majalah Horison Juni 2003, dalam cacatan kaki esai Karya Sastra Tiga Perempuan …
- El Khaileqy, Abidah, Geni Jora , \Matahari, Yogyakarta 2004.
- Majalah Horison XXXIX /5/ 2005,hal.9.
- Cerpen Indonesia Mutakhir, Pamusuk Eneste: editor, Gramedia, Jakarta 1983.
- Darma, Budi, Solilokui, Gramedia, Jakarta 1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar