Cuaca pagi tak
membisikkan apa-apa padaku sebagai penanda bahwa badai akan pecah. Nanda,
putriku, tiba-tiba menolak diantar ke sekolah. Dia mau pergi sendiri naik
mikrolet. Lebih dari itu dia berkata:
“ Tak ada yang boleh mengikatku!” Sebuah kalimat yang mirip pecahan
kaca.
Aku kaget. Inilah badai yang kumaksud, telah menghantamku sepagi
ini.Empat belas tahun mengabdi sebagai ayah. Rasanya seperti menjaga sebentuk
poci antik dan aku sudah sangat hati-hati sekali. Kujaga betul jangan sampai
pecah atau kena debu.
Dan pagi ini kesadaranku terbangun bahwa dari bayangan poci itu telah
menjelma seekor anak merpati. Itulah sebabnya! Sebab kedua ia milikku satu-satunya.
Sebab ketiga, sebelah sayapnya lumpuh. Maksudku dia besar bersamaku tanpa
seorang bunda - induk merpati itu terbang entah kemana.
Dulu kami bagai sepasang merpati yang bercinta. Lalu ada sedikit beda
prinsip, ditambah sedikit kecemburuan. Tapi karena waktu itu kaca mata kami
sedang berkabut. semua yang terjadi nampak lebih besar. Akhirnya kami terbang
sendiri-sendiri.
Dan aku tak mau jadi keledai; tersandung dua kali pada satu batu. Aku tak
ingin dia pergi dari sisiku, menghilang seperti bundanya. Sebab Nanda tahu
kalau di punggungnya mulai tumbuh sayap. Buktinya tadi; dia mau pergi dan
pulang sendiri, atau bersama teman-temannya, mau mampir kemana saja, dengan
naik mikrolet, becak atau apa saja semau hatinya.
Sebab yang berikutnya, inilah sebab yang paling besar: sekarang musim
badai.
Angin memang dari dulu susah diatur tapi belakangan makin semena-mena.
Mereka mengangkut debu kemana-mana. Juga ke dalam rumahku, lewat pintu samping,
pintu belakang, atau secara terang-terangan lewat pintu depan. Percuma
mengandalkan teralis dan gorden saja sebab mereka bisa menyusup pada
lembaran-lembaran buku, bahkan lewat
gelombang elektromagnetik. Gila !
Menyadari ini aku merasa dibawa
dalam dua pusaran arus yang maha sulit. Merpatiku pasti ingin terbang leluasa.
Sedang aku belum mengajarinya membaca peta; di mana pusaran angin beliung, di
mana pohon berduri, di mana danau beracun, di mana hutan tempat berburu (
tempat kanibalisme dikembangkan ) dan yang pasti aku belum sempurna menanam di
ladang kesadarannya bahwa dia harus selalu pulang ke rumah cahaya yang kerap
datang dalam mimpi-mimpiku.Mungkin aku agak sedikit berlebihan. Tapi siapapun,
pasti ingin anak-anaknya, apalagi anak tunggalnya, dalam keadaan selamat
selalu. Ini musim badai.
Mestinya aku punya selaras teropong tembus pandang, sehingga aku bisa
melihatnya dari jarak jauh tanpa dia merasa diawasi. Atau sebuah radar yang
bisa mendeteksi ke setiap titik ordinat mana saja dia kepakkan sayapnya.
Atau menariknya pulang lewat meditasi ke pusat kepekaan memori daya
panggil di otaknya manakala cuaca memberi penanda buruk. Sedini mungkin sebelum
badai menyekapnya tanpa daya.
Selanjutnya aku bukan berdiam diri, aku melompat dari mall ke mall dari
plaza ke plaza atau kemana saja pusaran angin beliung kota ini manakala merpatiku terlambat pulang.
Dengan topi penyamaranku. Dengan Honda bebek 70-an yang kututup selembar kardus
setiap kuparkir. Aku tak ingin gelagapan mencari alasan jika kepergok berada di
sebuah mall. Aku tak ingin dia tahu kalau aku mencarinya.
Aku tak ingin poci itu pecah. Aku tak ingin merpatiku merasa diawasi
meskipun sesungguhnya aku hanya ingin menjaga dan melindungi. Bahagiaku bila
dia pulang ke rumah cahaya itu dengan kerinduan di dasar hatinya sendiri.
Meski begitu; “ tak ada sesuatu yang boleh mengikatku !” Katanya
berkali-kali. Apa tidak mengagetkan ? Dia telah mulai memproklamerkan
kemerdekaanya. Dia telah mulai ingin mengepakkan sayapnya dan terbang
tinggi-tinggi.
“ Tak ada yang boleh mengikatmu “
jawabku hati-hati. “apa lagi sesuatu yang buruk,” tambahku lebih hati-hati
lagi.
“ Apa lagi sesuatu yang buruk,”
ulangnya tanda persetujuan ?
Kutambahkan lagi: “Yang baik hanyalah Tuhan. Dan segala sesuatu yang
disenangi oleh Tuhan…….”
Hening. Mungkin dia berenang dalam renungan. Malamnya, di meja belajarnya,
sepulas dia, kutemukan Sang Nabi-nya Khalil Ghibran menganga pada sajak tentang
anak:
“ anakmu bukan milikmu
mereka putra-putri sang hidup yang
rindu pada diri sendiri
lewat engkau mereka lahir, namun
tidak darimu
mereka ada padamu tapi bukan milikmu
……………….
Kaulah busur dan anakmu anak panah
yang meluncur
Sang pemanah maha tahu membidik
sasaran abadi
Betul, betul. Aku setuju semuanya. Tapi ini musim badai.
Aku senang dia mulai mau berziarah ke taman-taman puisi, menyelami danau
rasa dan intuisi, berenangan di riak-riak hakikat. Aku merasa telan mendapatkan
pintu gerbang yang terbuka lebar ke taman hatinya, untuk pelan-pelan
mengajaknya menarik nafas dalam satu irama, menghirupnya harumnya cahaya
kebenaran. Pelan-pelan, pelan-pelan. Sebab ini musim badai.
“ Apa saja yang membuat seseorang disenangi tuhan ?” tanyanya esok pagi.
Aku tersenyum. Ahad yang ceria. Musim semi berhias rinai gerimis dan
langitnya berpando pelangi di hatiku. Pagi itu dia mengajakku jalan-jalan tanpa
tujuan. Kami menyusuri pinggir kota,
menikmati uap embun dan berbagi hangatnya pagi.
Pulangnya kami mampir di toko buku kecil. Kubeli Al Quran dan
terjemahannya Mahmud Yunus untuknya.
“Tuhan tak bisu. Yang baik yang buruk sama-sama dikatakanNya. Ini hadiah
untukmu. Jawaban pertanyaanmu pagi tadi.”
“Tapi ini hari bukan ulng tahunku, Yah !”
“Orang harus merasa lahir kembali setiap saat!”
“Oya, caranya ?”
“Menjadi baru dan lebih baik!”
Dia tersenyum. Bunga rumput bermekaran di dadaku. Malam itu kubawa
senyumnya dalam tidur lelapku.
***
Hari memang cerah tapi segumpal awan selalu menggoda.
“ Tiada yang boleh mengikatku !” katanya lagi, suatu pagi menjelang
berangkat sekolah,diulang-ulang seolah dia sedang menghafal satu puisi.
“Kecuali Tuhan !” sambungku.
“Tidak jugaTuhan !” bantahnya. Jelas aku kaget. Tapi aku sudah pengalaman
main petak umpet.Aku harus tahu sebabnya.
“ Mau diantar ?” tawarku bercanda,” mengantar bukanlah mengikat, tapi
melepas pelan-pelan…”
Dia keburu menggeleng. Mantap.Sebentar kemudian seorang temannya menjemput. Pakai motor
besar. Pria!. Wah ini lebih badai dari badai!.
Apa yang membuatnya Tuhan menjadi tidak begitu berarti lagi baginya?
Malamnya, tanpa harus menggeledah , di atas meja belajarnya menggeletak
seonggok puisi:
Tuan tuhan bukan ?
Permisi, saya sedang keluar ….*
Ow…! Ini biangnya !. Apa kataku, debu-debu menyusup juga ke kertas-kertas
buku dan itu telah menyelinap ke dalam pikirannya. Aku sedih. Manusia mencoba
dengan caranya sendiri menggapai-gapai Tuhan. Tapi tak jarang kabut begitu
tebal menghalangi pandang mata hatinya. Mereka menggapai angan-angannya
sendiri. Atau dia salah membuka pintu, sehingga yang terlihat cermin dan
bayangan-bayangan terbalik?.
Padahal, kemana pun kamu berlari,
Tuhan senantiasa setia mengikutimu.Kamu sama sekali tak bisa mengelak
dariNya.Aku ingat kisah seorang anak muda yang datang pada seorang guru di
India ingin diajari agama. Dibawalah pemuda itu oleh Sang Guru ke tengah
sungai. Disuruh menyelam, lalu ditekan kepalanya sampai lama. Setelah dilepas
pemuda itu sambil megap-megap bertanya: “ Apakah guru mengajariku agama.?
“Ya. Apakah yang kau
inginkan ketika kepalamu di dalam air? “
Pemuda itu diam.
“Mobil, kekayaan, wanita cantik?” pancing Sang Guru.
“Tidak ! Hanya udara”
“Nah kalau satu-satunya kebutuhanmu hanya kepada Tuhan , sama dengan
kebutuhanmu ketika di dalam air terhadap udara, kau belajarlah !”
Pemuda itu, seperti sekian orang lainnya yang pernah datang pada Sang
Guru itu, pergi dan tidak pernah kembali. Ya, begitulah Nak, kadang orang
datang ke hadapan Tuhan tidak karena cinta, tapi untuk minta sesuatu, seolah
sesuatu itu lebih penting ketimbang Dia sendiri. Pantas sekali banyak orang
kurang begitu hormat kepada Tuhan , karena mereka tidak tahu inti hidup yang
sesungguhnya.
Kubuang puisi itu ke tong sampah. Kucium apa yang kubelikan untuknya
kemarin. Agaknya dia telah menyentuhnya meski sekali dua. Ada beberapa kalimat pada terjemahannya yang
digarisbawahi. Syukurlah, dia telah mulai menyusuri peta kehidupan yang lurus
dan penuh cahaya.
“Tuhan tariklah merpatiku ke dalam cahaya. Sentuhlah hatinya dengan
kelembutanMu. Amin……..!”
Tapi memang belakangan hatiku jadi cepat khawatir. Hari ini agaknya dia
pulang terlambat lagi. Aku menantinya dengan cemas. Berita – bertia di telavisi
menjadi pupuk yang baik bagi kecemasan para orang tua.
Aku telah mengeluarkan motor bututku dari gudang. Dia datang diantar
teman pria, pakai motor besar. Dia lagi.Aku batuk-batuk.
“ Maaf Yah, terlambat ! Ke ulang tahun teman.”
Aku tersenyum sedikit. Mengangguk sedikit. Sudah berapa kali diantar pria
itu ? Siapa dia ? Sudah pergi ?
“ Namanya Daw, Yah. Dia dijauhi teman-teman. Mungkin karena nakal atau
salah gaul. Atau karena anak seorang pejabat yang korup.Tapi Daw
mencintaiku…………..”
“Oya ?” bagaimana caranya mengecilkan volume keterkejutan ?
Aku tersenyum. Cinta ? Aku tersenyum lagi. Tersenyum lagi.
“Yah ? Ayah kenapa ?”
“O, tidak !Ganti pakaian dulu, mandi, shalat !” komentarku. Dia duduk di
dekatku.” Bagaimana sikap yang paling bijak, apa harus ikut memusuhinya juga ?
katanya cinta dapat merubah segalanya………”
“Iya... Tapi………”
Aku lantas berkisah tentang seorang anak yang memancing di muara. Langit
cerah. Dia berharap kailnya ditarik seekor ikan yang besar. Ibunya pasti
senang. Dan harapanya terkabul. Anak itu tertarik sampai ke dalam perut ikan
besar.
“Mestinya anak itu memegang pisau. Memotong hati ikan itu dari dalam.
Lalu membedah perutnya untuk segera keluar menemui ibu yang menantinya di dapur
!”
Aku tersenyum. Ow. Merpatiku yang masih muda dan cerdas. Tidak semudah
itu Sayang. Di laut ada arus, ada pusaran air dan gelombang. Dan puisi pendek
itu ?
“ Kau kehilangan sesuatu ?” pancingku.
“ Pasti Ayah yang membuangnya ke tempat sampah. Kenapa. Tidak suka?”
“Bukan begitu, Nanda Sayang. Seorang pemanah yang mahir pun pasti pernah
satu kali luput membidik sasarannya. Apa lagi bila sasarannya adalah sesuatu
yang abstrak.”
“ Daw menulisnya, Yah. Tidak tahu dia jibplak dimana.”
“ O, kalau tidak keliru itu di Perahu Kertas-nya Sapardi Joko
Damono.Nanti kucarikan kau ’99 Untuk
Tuhanku’ nya Mh Ainun Najib, ” janjiku.
***
Dan hari ini dia betul-betul pulang terlambat lagi. Ini sudah sore. Dan
ini betul-betul mencemaskan. Padahal hari ini hanya pengumuman pelulusan. Aku
betul-betul gelisah. Bayangan-bayangan tentang sekelompok anak sekolah yang
merayakan kelulusannya dengan pesta sex di beberapa kota di tahun-tahun yang lalu seperti
sekawanan burung yang menyambar-nyambar pikiranku. Kucoba
bermeditasi.Kabut,kabut,kabut.Lalu kulihat sekawanan merpati dengan sayap
terluka jatuh menabrak kaca.Aku makin cemas.Badai besar sedang terjadi. Dan tak
ada jalan lain kecuali datang ke sekolahnya.
Benar dugaanku: sekolah telah tutup. Tetapi beberapa mobil polisi
berseleweran tiap sebentar. Beberapa orang yang kutanyai memberi tahu kejadiannya.
Beberapa pasang muda-mudi itu diamankan polisi. Tak ada yang tahu pasti
nama-nama mereka .Semua berdasar katanya-katanya.
Tidak puas, aku melompat ke kantor polisi. Tapi tak mendapat pintu masuk.
Empat orang petugas berdiri siaga dengan senapannya di depan pintu gerbang.
Tapi orang-orang berseragam itu seolah memang tidak boleh bicara banyak,
apalagi dengan sembarang orang, tanpa komando dari atas. Aku mencoba melompati
pagar tapi punggungku dihantam popor senapan hingga benjol-benjol.
“Kau mau bikin kekacauan baru, ya?”
“Aku ingin tahu apa anakku terlibat!”
“Kalau ya, pasti kau dapat panggilan nanti!”
“Aku tak tahan menanti.Aku mau tahu sekarang!”
Lalu sebiji bugem mengoyak mulutku.Berdarah-darah.Terpaksa aku kembali
duduk. Aku pulang setelah menunggu lama tanpa tahu apa-apa.
Sampai di rumah Nanda telah menantiku dengan cengar-cengir.
O, tanpa terasa kiranya badai pun telah menelusup ke dalam ruang rasaku
,ke ceruk-ceruk pikiranku sedemikian rupa sehingga membuat benjolan di
punggungku serta mengoyak mulutku, ha ha ha ….
****
Sumenep 1 Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar