Rabu, 06 Maret 2013

Konsep Sastra Profetik Kuntowijoyo di Tengah Budaya Bebas Bablas

(disajikan dalam DIALOG SASTRA NASIONAL, BEDAH BUKU DAN PARADE  BACA PUISI –“Workshop Penulisan Kreatif dan Apresiasi Sastra”  oleh Lembaga Kajian Seni Budaya “Net Think Commonity”)
Pendahuluan
 “Tuhan, aku tak paham kenapa Engkau berhenti menurunkan nabi-nabi di zaman yang justru membutuhkan lebih banyak para nabi ini!”, tulis Emha Ainun Najib dalam ’99  Untuk Tuhanku’.   Demikianlah maka menjadi menarik ‘membicarakan’ Konsep Sastra Profetik (kenabian) di tengah gejala  kebebasan  yang cenderung kebablasan terutama dalam  perbincangan  wacana sastra Indonesia saat ini.
Entah apa sebabnya  di belantara sastra Indonesi kini tiba-tiba  marak para perempuan  yang mengekspresikan dirinya dalam karya  prosa fiksi yang terang-terangan menguak hal-hal di seputar lendir dan selangkangan. Hal ini sempat menjadi polemik di media massa  antara dua kubu yang pro dan yang kontra. Bahkan Katrin Bandel  telah menuliskan situasi demikian dalam  bukunya: Sastra, Perempuan, Sex sebagai berikut:   
Dalam dunia sastra Indonesia saat ini , “perempuan” dan “seks” merupakan dua issue yang amat penting.  Terutama perempuan dalam arti “pengarang perempuan”  dan  “seks” sebagai tema sastra…..  “ asal berbau seks, apa lagi pengarangnya perempuan, pasti laku” (hal.xvii)
Kemungkinan apakah yang menjadi penyebab munculnya fenomena ini? Pertanyaan inilah yang menggelitik penulis untuk  sekedar ‘urun rembuk’ dalam perbincangan itu.
Terjebak Budaya Massa
Budaya massa  adalah produk dari mayoritas yang “tak berbudaya”, yaitu manusia massa, tulis Kuntowijoyo dalam Maklumat Sastra Profetik.  Yang ada hanya latah. Keindahan hanyalah ketika sesuatu sedang ngetrend dan digemari umum. Ketika soal sex dapat begitu mudah diakses di setiap media massa  maka manusia massa pun mendukung pemarakannya. Arus deras Golbalisasi yang dipicu oleh penemuan-penemuan baru yang spektakuler di bidang teknologi terutama teknologi komunikasi telah meretas sekat-sekat ruang dan waktu , memungkinkan interaksi  nilai dari segala sudut jagad menjadi sangat mudah sehingga sebagian  kita tak  mampu mengelakkan diri dari efek buruk yang ditimbulkannya, antara lain adalah rontoknya tatanan nilai dari budaya-budaya adiluhung yang kita miliki.        
Budaya massa, manusia massa, lahir di tengah masyarakat teknologis. Menurut Gabriel Marcel, seorang filsuf Eksistensialis-Katolik , di dalam masyarakat teknologis, manusia tidak lagi memahami dirinya berdasar gambaran tentang Tuhan (the image of God) melainkan berdasar gambaran tentang mesin ( the image of machine). ( Kuntowijoyo, Horison , Mei 2005).  Masyarakat teknologis adalah masyarakat korban penjajahan teknologi, yang tak lain adalah icon budaya progress modern. Dehumanisasi dengan ciri-ciri objektivasi manusia, agresivitas, loneliness dan  spiritual alienation  lahir di sini. Tidak berlebihan jika Bernard James mengecam bahwa “ Kekuatan mautnya harus kita hancurkan sebelum kekuatan itu menghancurkan seluruh umat manusia. Ialah budaya progress modern!”
Dan mereka, para pengarang muda pemuja kebebasan itu, telah hidup dan ‘menyusu‘ dari realitas hidup yang dikelilingi oleh atmosfier budaya progress modern sehingga sangat mungkin jika tatanan nilai di dalam ‘diri’ mereka telah terkontaminasi  olehnya. Memang benar tak mungkin  ada ruang yang tak terkondisi oleh ruangan lain di sekitarnya. Hanya persoalannya bagaimana kita mengelola suasana di luar diri kita untuk menjadi sesuatu yang lebih ‘bermakna’ bagi fitrah kemanusiaan. Bukan kemalaikatan, bukan juga kebinatangan.
Kecenderungan Baru
Atau mungkin ini sebuah efek wajar dari sebuah kecenderungan baru  dunia sastra Indonesia yang mana  unikum -- sangat urgens kedudukannya dalam karya sastra,  lebih didasarkan   pada pilihan  tema atau objek cerita saja. Bukan  pada gaya penulisan (style). Padahal style inilah yang paling kuat membedakan karakteristik seorang pengarang dengan pengarang lain. Di samping itu, bukankah meletakkan keunikan pada  objek cerita itu sama dilematisnya dengan mengabadikan  keperawanan dan keperjakaan seseorang atau mengumbarnya.  Keperawanan dan keperjakaan itu hanya sekali saja adanya. Begitu pun  soal keunikan  objek cerita dalam sebuah karya prosa fiksi. Bila  suatu objek selesai digarap untuk kedua kalinya bukanlah sebuah keunikan lagi. Dan ini cenderung memicu naluri ketidakpuasan  untuk terus merambah kawasan baru hingga daerah-daerah yang tak semestinya disentuh apa lagi dikoyak- moyak sehingga menyebarkan ‘bau tak sedap‘ bagi penciuman budaya kita.
Sekali lagi tak bisa disangkal bahwa unikum memang sesuatu yang termasuk urgens kedudukannya dalam konsep seni modern yang mana ‘seni’ didefinisikan sebagai sebuah kegiatan kreatif.  Bahkan unikum sebagai  salah satu ciri kreativitas itu sendiri. Persoalannya di manakah sebaiknya keunikan itu disandangkan dalam karya sastra? Dalam tema, pilhan objek atau gaya penceritaan (style)?
Sebetulnya ini bukan hanya persoalan dunia sastra . Di dunia seni rupa juga terjadi hal yang sama. Munculnya isme-isme baru dalam seni rupa tidak selalu  dari pencarian tema baru  tapi  tak jarang juga dari penggalian cara ungkap. Perbedaan Romantisme, Realisme dan Surealisme itu memang soal tema. Romantisme mengangkat tema tentang manusia-manusia ‘besar’ sedang realisme justru mengangkat kehidupan orang-orang kelas akar rumput. Surealisme yang mengangkat dunia alam bawah sadar manusia  toh hanya efek rambahan dari ditemukannya teori Psycho Analisis-nya Sigmund Preud. Tapi ekspressionisme, impressionisme, kubisme dan  dadaisme hanya berbeda soal  cara ungkap, dan di sinilah  justru lebih terlihat karakteristik pelukisnya.   
Tentu saja merambah  tema dan objek baru yang belum pernah disentuh dalam mencipta karya seni dapat menggemparkan.  Tapi toh tidak selalu berarti bagus. Sebuah anekdot tentang mahasiswa Jepang dan mahasiswa Indonesia  yang berdebat tentang kemajuan bangsanya  masing-masing cukup kena untuk menggambarkan ini. Mahasiswa Jepang bilang bahwa ilmu arsitektur Jepang sudah demikian majunya sampai bisa membangun sebuah gedung pencakar langit. Ah, masa sampai mencakar langit? Begitu protes mahasiswa Indonesia. Okelah lebih rendah sedikit, jawab mahasiswa Jepang. Yang Indonesia bilang bahwa ilmu kedokteran di Indonesia juga tidak kalah  maju. Para ibu di Indonesia sudah bisa melahirkan dari pusarnya. Ah masa dari pusarnya? Tanya mahasiswa Jepang. Okelah lebih rendah sedikit, jawab mahasiswa Indonesia. Di dunia sastra juga demikian. Karena kita tak mampu bercerita tentang tetek bengek dunia luar angkasa misalnya,  kita ambil saja tema-tema di bawah pusar sedikit. Ternyata cukup menggemparkan juga.
Sebuah Ideologi
Ketika Prof. Dr. Kontowijoyo memaklumatkan Konsep Sastra Profetik ( 21 Januari 2005,  dimuat Horison bulan Mei 2005) saya sudah menduga bahwa nantinya itu akan berbenturan dengan para pemuja ‘kebebasan tak terbatas’.  Beruntunglah Guru Besar UGM itu  sudah meninggal sehingga tak perlu capek-capek berpolemik –misalnya - dengan Benhad Nurrahmat, Hudan Hidayat, Djenar Mahesa Ayu dan lain-lain para pendukung  ‘Memo Indonesia’ tentang seputaran  apa yang kemudian disebut GSM (Gerakan Syahwat Merdeka), SMS (Sastra Mashab Selangkangan), FAK (Fiksi Alat Kelamin) dan sejenisnya. Cukuplah Taufiq Ismail saja yang dicap sebagai ‘Penghujat Sastra ’ oleh Benhad Nurrahmat  dalam tulisan ‘Malu Aku Jadi Penghujat Sastra’ yang menurut Maman S. Mahayana itu sebuah misinterpretasi Benhad Nurrahmat tentang substansi ungkapan Taufiq Ismail. Sebab yang dihujat Taufiq Ismail  bukan Sastra Indonesia tapi eksploitasi seks dalam sebagian karya fiksi yang mengaku sebagai warga Sastra Indonesia .
Kenapa saya katakan sudah menduganya?  Romo Mangun Wijaya pernah berkata dalam bukunya ‘Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa’ bahwa teknologi  adalah anak-anak ideologi juga. Tentu demikian juga sastra. Sebab apa pun hasil kegiatan manusia adalah efek  dari cara pandangnya terhadap hidup, yang tentu juga berimbas pada cara pandangnya tentang  kebahagiaan. Setiap orang, tentu saja bebas memilih sebuah pandangan hidupnya sendiri , ideologinya sendiri. Atau seseorang membutuhkan proses yang tidak sama dengan orang lain dalam  memperoleh sebuah pandangan hidup yang mantap sebab itu terkait dengan perkembangan kepribadian masing-masing individu.  Pramodya Ananta Toer  pernah mengatakan bahwa dia merasa ‘terlalu banyak lendir’  pada  Bumi Manusia, novelnya yang terkenal  itu. Apa kata Ayu Utami tentang itu?  “ Saya sungguh berterima kasih pada Pramodya, juga, jika dia sungguh berpendapat bahwa  ‘masa berlendir’ itu telah lewat baginya kini. Dan belum bagi saya. Tentunya ketika menulis Bumi Manusia, masa itu belum lewat-lewat amat bagi dia”.
Perspektif  Kaum Feminis
Feminisme -- yang kini deras berhembus ke mana-mana, barangkali tak terkecuali  juga ke ruang ideasional para perempuan pengarang muda kita,  mempunyai kecenderungan  mencari hubungan antara sastra dengan ideologi, di mana budaya, sejarah, psikologi  dan realita perempuan menjadi acuan sebuah karya. Perjuangan utama Feminisme secara konseptual ataupun nyata, menurut Adrienne Rich, seorang penyair dan kritikus Amerika,  adalah menentang  pandangan dualisme artivisial yang dipaksakan kepada kaum perempuan  oleh budaya patriarki, misalnya alienasi ideologi atau kesadaran (consciousness) dari realita fisik ( physical reality) . Rich jugalah yang menggagas istilah ‘Re-vision’ yang kemudian menjadi slogan kaum feminis kontemporer untuk menuntut peninjauan kembali  historis, cultural dan psikis dari masa lalu budaya perempuan. 
Celakanya, istilah patriarki pada saat ini sudah begitu saja diidentikkan dengan yang opresif dan ingin mengontrol serta menguasai. Maka bisa jadi fenomena di atas adalah sebagai reaksi yang berlebihan dari  kaum perempuan terhadap kondisi sosial yang  menurutnya sangat mencekam itu. Padahal menurut Julia I Suryakusuma, sebetulnya ada juga  ‘patriarki positif’ yaitu yang bersifat melindungi, menuntun, membimbing dengan cara yang tidak memaksa, yang setia dengan prinsip, yang bijak, dan bisa dijadikan panutan. Sebenarnyalah  menurut dia, yang menjadi persoalan masyarakat masa kini adalah absennya sosok ‘bapak’ yang baik , semisal Nelson Mandela atau dulu Gandhi. 
Jika pun itu alasannya, toh muatan perjuangan kesetaraan gender tidak harus dimanefestasikan  dengan cara mengeksploitasi sex secara vulgar  dan ‘berlebihan’, sehingga harus muncul teks sastra yang belepotan lendir di mana-mana. Satu buktinya, Geni Jora karya Abidah El Khaileqy  tidak demikian.
Dunia Sekitar Selangkangan
Sebetulnya ‘daerah itu’ hanya satu dari sekian ribu benda lain yang dapat menjadi objek cerita atau pun tema dalam karya fiksi atau khususnya  karya sastra. Bagi mereka yang memiliki kreativitas, apa-apa yang ada di luar ‘daerah itu’ tak akan pernah kering meski terus menerus dikuras. Jika selama ini sastrawan- sastrawan lain tidak menyentuh ‘daerah itu’ , itu bukan berarti mereka tidak punya kemampuan untuk mengembangkan  ide tentang sebuah sudut yang amat tersembunyi di bagian tubuh kita tersebut. Tapi karena  rasa malu. Mereka masih menjaga jangan sampai sisa rasa malu yang tinggal sedikit di negeri yang konon beradab ini habis sama sekali. Jika seorang sastrawan pun ( dahulu begitu sangat dimuliakan dengan sebutan pujangga) tidak menjaganya, lalu apakah para politikus dan ekonom  yang dunianya memang begitu rawan cobaan itu yang akan menjaga?
Seorang teman sastrawan , ketika saya tanya tentang rame-rame soal sastra lendir atau sastra selangkangan tersebut  menjawab begini: “Jika dengan air putih saja kita bisa membuat sekian ribu macam minuman yang dahsyat, kenapa mesti sampai minum air kencing  sendiri? Itu berarti sebuah kemandegan kreativitas Bung! Apa lagi sengaja menjadikannya sebagai ciri khas, wah!” 
Hemat saya, yang menggemparkan sebetulnya bukan karena ada atau tidak adanya sex action di dalam teks sastra  melainkan pada gaya pengungkapannya yang vulgar dan eksploitatif. Olenka-nya Budi Darma, juga  tidak sungguh sepi dari teks sex. Akan tetapi pada Olenka  sex tak lain  sekedar sebuah tuntutan alur dan lebih dari itu dibungkus dengan gaya bahasa atau pun metafora yang kreatif dan di sinilah kreativitas  kesastraan seorang  pengarang sebetulnya ‘diminta’.
Konsep Sastra Profetik Kuntowijoyo
Menurut Prof. Dr. Kuntowijoyo (alm) ide awal konsep Sastra Profetik itu  terinspirasi oleh pribadi Nabi Muhammad sendiri, Sang Prophet. Walaupun beliau diangkat mi’raj dan ‘berjumpa’ dengan Tuhan ketika itu --suatu hal yang amat dirindukan kaum sufi, sampai seorang di antaranya berkata: “sumpah jika aku yang diangkat dan bermuwajjah dengan Tuhan, aku tak akan kembali lagi ke bumi!”. Tapi Sang Prophet  tidak terlena dan menetap di sana, melainkan kembali lagi untuk peduli dan mengurusi umat manusia di bumi. Demikian juga para prophet atau  nabi-nabi yang lain.
Konsep Sastra Profetik adalah sebuah konsep sastra yang peduli. Kaidah-kaidahnya merujuk pada pemahaman dan penafsiran kitab-kitab suci terhadap realitas, tentu, untuk pemeluk agama apa pun sebab semua agama pasti tidak akan pernah mengajarkan kejahatan.   Tiga etikanya adalah  1. Amar ma’ruf ( menyuruh kebaikan /humanisasi), 2. Nahi mungkar ( mencegah kemungkaran / liberasi) , dan 3. Tu’minuna billah ( beriman pada Tuhan/ transendensi).
Menurut Kuntowijoyo, penggagasnya,  Konsep Sastra Profetik itu berbeda dengan Konsep sastra Sufistik-nya  Abdul Hadi WM. Aspek sufistik hanya sepertiga saja dari Konsep Etika Sastra Profetik, yaitu pada bagian transendensi- nya saja. Sedangkan dua pertiga yang lain adalah Amar Ma’ruf  /humanisasi  dan Nahi Munkar/liberasi, untuk menghindarkan diri dari  hal-hal buruk semacam dehumanisasi yang sudah menggejala di tengah kehidupan manusia Indonesia yaitu antara lain; objektivasi manusia (secara teknologis, ekonomis, budaya) , agresivitas dan kriminilitas baik oleh perorangan atau kelompok, penindasan oleh politik dan negara,  loneliness (individuasi), dan spiritual alienation (keterasingan spiritual) dan ‘demoralisasi” yang sedang kita bicarakan.
Jika Maklumat Sastra Profetik Kuntowijoyo ini  dianut oleh para sastrawan Indonsia, maka para  sastrawan Indonesia, melalui karya-karyanya, mau tak mau harus mempunyai tanggung jawab sebagai penyelaras kehidupan, pelanjut risalah nabi-nabi, sebagai khalifah di bumi, sesuai konsep Tuhan sendiri tentang penciptaan manusia. Dengan begitu, setiap gerak-diam manusia khalifah, termasuk dalam bersastra, merupakan manefestasi dari tugas kekhalifahan tersebut. Sehingga keberadaannya (baca: keterciptaannya ) tidak sia-sia belaka sebab Tuhan tidak menciptakan segala sesuatunya sebagai sesuatu yang sia-sia.        
Kesimpulan
Tuhan sendiri ‘dawuh’ dalam sebuah kitab suci,  bahwa akan diturunkan kepada setiap seorang nabi  itu musuh, yaitu dari golongan pendurhaka . Bukankah ini sejarah lama yang berulang-ulang? Bukankah sorga dan neraka, baik dan buruk memang dibuat dalam satu paket? Bukankah sorga dan neraka memang harus sama-sama terisi? Jadi di setiap zaman dan ruang akan muncul ‘nabi-nabi’  baru dan ‘pembangkang-pembangkang’ baru. ‘Nabi-nabi baru ’ itu   ya tentu saja akan terus berjuang demi tegaknya kebenaran. Begitu pula para ‘pembangkang’ itu juga akan terus berjuang sampai titik lendir yang penghabisan yang nantinya akan berujung pada dua alternatif ; ‘sadar dan taubat’ atau  ‘mati membawa kutukan’.
Akan tetapi barangkali tidak harus seseram itu. Mungkin kesimpulan sederhananya adalah bahwa sebuah karya sastra harus mempunyai apa yang disebut moral cerita! Tentu saja moral cerita bukan melulu moral agama saja. Dan soal apa itu moral, Bangsa Indonesia sudah memiliki poin-poin acuannya yang disebut nilai-nilai luhur  dan sesuai dengan kepribadian bangsa.  
Lalu bagaimana misalnya dengan ‘cerita tanpa cerita’ seperti cerpen-cerpen Umar Kayam yang dikatakan Arief Budiman  sebagai cerita yang tidak mengandung cerita, sebab temanya ternyata hanya nonsense. Anehnya, yang demikian justru sesuai dengan apa yang dikatakan Budi Darma: “Pengarang adalah seseorang yang bisa menceritakan sesuatu yang sebetulnya tidak ada ceritanya.”
Untuk itu tentu ada pilihan lain, merujuk sebuah sabda Nabi: Falyaqul khairan aw liyashmut ; berbicaralah yang baik atau lebih baik diam!  Bukankah diam (seperti cerpennya Umar Khayam, tidak melakukan tindak amoral) , adalah sebuah kebaikan juga?
***
Surabaya 2009 
Rujukan:
  1. Bandel, Katrin, Sastra, Perempuan, Sex : Jalasutra, Yogyakarta 2006 
  2. Media Indonesia, 22 Juli 2007 
  3. Media Indonesia ,5 Agustus 2007 
  4. Tulisan Ayu Utami  ‘Moral Cerita’ Lembar Budaya Sindo 16 Sept. 2007 
  5. Rich, Adrienne, Of Women Born: Motherhood as Experience and Institution ( WW Norton, New York 1976) 
  6. Majalah Horison Juni 2003, dalam cacatan kaki esai Karya Sastra Tiga Perempuan 
  7. El Khaileqy, Abidah,  Geni Jora , \Matahari, Yogyakarta 2004. 
  8. Majalah Horison  XXXIX /5/ 2005,hal.9. 
  9. Cerpen Indonesia Mutakhir, Pamusuk Eneste: editor, Gramedia, Jakarta 1983. 
  10. Darma, Budi, Solilokui, Gramedia, Jakarta 1983

Tidak ada komentar:

Posting Komentar