Rabu, 06 Maret 2013

Musim Badai

Cuaca pagi tak membisikkan apa-apa padaku sebagai penanda bahwa badai akan pecah. Nanda, putriku, tiba-tiba menolak diantar ke sekolah. Dia mau pergi sendiri naik mikrolet. Lebih dari itu dia berkata:
“ Tak ada yang boleh mengikatku!” Sebuah kalimat yang mirip pecahan kaca.
Aku kaget. Inilah badai yang kumaksud, telah menghantamku sepagi ini.Empat belas tahun mengabdi sebagai ayah. Rasanya seperti menjaga sebentuk poci antik dan aku sudah sangat hati-hati sekali. Kujaga betul jangan sampai pecah atau kena debu.
Dan pagi ini kesadaranku terbangun bahwa dari bayangan poci itu telah menjelma seekor anak merpati. Itulah sebabnya! Sebab kedua ia milikku satu-satunya. Sebab ketiga, sebelah sayapnya lumpuh. Maksudku dia besar bersamaku tanpa seorang bunda - induk merpati itu terbang entah kemana.
Dulu kami bagai sepasang merpati yang bercinta. Lalu ada sedikit beda prinsip, ditambah sedikit kecemburuan. Tapi karena waktu itu kaca mata kami sedang berkabut. semua yang terjadi nampak lebih besar. Akhirnya kami terbang sendiri-sendiri.
Dan aku tak mau jadi keledai; tersandung dua kali pada satu batu. Aku tak ingin dia pergi dari sisiku, menghilang seperti bundanya. Sebab Nanda tahu kalau di punggungnya mulai tumbuh sayap. Buktinya tadi; dia mau pergi dan pulang sendiri, atau bersama teman-temannya, mau mampir kemana saja, dengan naik mikrolet, becak atau apa saja semau hatinya.
Sebab yang berikutnya, inilah sebab yang paling besar: sekarang musim badai.
Angin memang dari dulu susah diatur tapi belakangan makin semena-mena. Mereka mengangkut debu kemana-mana. Juga ke dalam rumahku, lewat pintu samping, pintu belakang, atau secara terang-terangan lewat pintu depan. Percuma mengandalkan teralis dan gorden saja sebab mereka bisa menyusup pada lembaran-lembaran buku, bahkan  lewat gelombang elektromagnetik. Gila !
Menyadari ini aku merasa  dibawa dalam dua pusaran arus yang maha sulit. Merpatiku pasti ingin terbang leluasa. Sedang aku belum mengajarinya membaca peta; di mana pusaran angin beliung, di mana pohon berduri, di mana danau beracun, di mana hutan tempat berburu ( tempat kanibalisme dikembangkan ) dan yang pasti aku belum sempurna menanam di ladang kesadarannya bahwa dia harus selalu pulang ke rumah cahaya yang kerap datang dalam mimpi-mimpiku.Mungkin aku agak sedikit berlebihan. Tapi siapapun, pasti ingin anak-anaknya, apalagi anak tunggalnya, dalam keadaan selamat selalu. Ini musim badai.
Mestinya aku punya selaras teropong tembus pandang, sehingga aku bisa melihatnya dari jarak jauh tanpa dia merasa diawasi. Atau sebuah radar yang bisa mendeteksi ke setiap titik ordinat mana saja dia kepakkan sayapnya.
Atau menariknya pulang lewat meditasi ke pusat kepekaan memori daya panggil di otaknya manakala cuaca memberi penanda buruk. Sedini mungkin sebelum badai menyekapnya tanpa daya.
Selanjutnya aku bukan berdiam diri, aku melompat dari mall ke mall dari plaza ke plaza atau kemana saja pusaran angin beliung kota ini manakala merpatiku terlambat pulang. Dengan topi penyamaranku. Dengan Honda bebek 70-an yang kututup selembar kardus setiap kuparkir. Aku tak ingin gelagapan mencari alasan jika kepergok berada di sebuah mall. Aku tak ingin dia tahu kalau aku mencarinya.
Aku tak ingin poci itu pecah. Aku tak ingin merpatiku merasa diawasi meskipun sesungguhnya aku hanya ingin menjaga dan melindungi. Bahagiaku bila dia pulang ke rumah cahaya itu dengan kerinduan di dasar hatinya sendiri.
Meski begitu; “ tak ada sesuatu yang boleh mengikatku !” Katanya berkali-kali. Apa tidak mengagetkan ? Dia telah mulai memproklamerkan kemerdekaanya. Dia telah mulai ingin mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi-tinggi.
“ Tak ada yang boleh mengikatmu  “ jawabku hati-hati. “apa lagi sesuatu yang buruk,” tambahku lebih hati-hati lagi.
 “ Apa lagi sesuatu yang buruk,” ulangnya tanda persetujuan ?
Kutambahkan lagi: “Yang baik hanyalah Tuhan. Dan segala sesuatu yang disenangi oleh Tuhan…….”
Hening. Mungkin dia berenang dalam renungan. Malamnya, di meja belajarnya, sepulas dia, kutemukan Sang Nabi-nya Khalil Ghibran menganga pada sajak tentang anak:
“ anakmu bukan milikmu
mereka putra-putri sang hidup yang rindu pada diri sendiri
lewat engkau mereka lahir, namun tidak darimu
mereka ada padamu tapi bukan milikmu
……………….
Kaulah busur dan anakmu anak panah yang meluncur
Sang pemanah maha tahu membidik sasaran abadi
Betul, betul. Aku setuju semuanya. Tapi ini musim badai.
Aku senang dia mulai mau berziarah ke taman-taman puisi, menyelami danau rasa dan intuisi, berenangan di riak-riak hakikat. Aku merasa telan mendapatkan pintu gerbang yang terbuka lebar ke taman hatinya, untuk pelan-pelan mengajaknya menarik nafas dalam satu irama, menghirupnya harumnya cahaya kebenaran. Pelan-pelan, pelan-pelan. Sebab ini musim badai.

“ Apa saja yang membuat seseorang disenangi tuhan ?” tanyanya esok pagi.
Aku tersenyum. Ahad yang ceria. Musim semi berhias rinai gerimis dan langitnya berpando pelangi di hatiku. Pagi itu dia mengajakku jalan-jalan tanpa tujuan. Kami menyusuri pinggir kota, menikmati uap embun dan berbagi hangatnya pagi.
Pulangnya kami mampir di toko buku kecil. Kubeli Al Quran dan terjemahannya Mahmud Yunus untuknya.
“Tuhan tak bisu. Yang baik yang buruk sama-sama dikatakanNya. Ini hadiah untukmu. Jawaban pertanyaanmu pagi tadi.”
“Tapi ini hari bukan ulng tahunku, Yah !”
“Orang harus merasa lahir kembali setiap saat!”
“Oya, caranya ?”
“Menjadi baru dan lebih baik!”
Dia tersenyum. Bunga rumput bermekaran di dadaku. Malam itu kubawa senyumnya dalam tidur lelapku.
***
Hari memang cerah tapi segumpal awan selalu menggoda.
“ Tiada yang boleh mengikatku !” katanya lagi, suatu pagi menjelang berangkat sekolah,diulang-ulang seolah dia sedang menghafal satu puisi.
“Kecuali Tuhan !” sambungku.
“Tidak jugaTuhan !” bantahnya. Jelas aku kaget. Tapi aku sudah pengalaman main petak umpet.Aku harus tahu sebabnya.
“ Mau diantar ?” tawarku bercanda,” mengantar bukanlah mengikat, tapi melepas pelan-pelan…”
Dia keburu menggeleng. Mantap.Sebentar kemudian  seorang temannya menjemput. Pakai motor besar. Pria!. Wah ini lebih badai dari badai!.
Apa yang membuatnya Tuhan menjadi tidak begitu berarti lagi baginya? Malamnya, tanpa harus menggeledah , di atas meja belajarnya menggeletak seonggok puisi:
Tuan tuhan bukan ?
Permisi, saya sedang keluar ….*
Ow…! Ini biangnya !. Apa kataku, debu-debu menyusup juga ke kertas-kertas buku dan itu telah menyelinap ke dalam pikirannya. Aku sedih. Manusia mencoba dengan caranya sendiri menggapai-gapai Tuhan. Tapi tak jarang kabut begitu tebal menghalangi pandang mata hatinya. Mereka menggapai angan-angannya sendiri. Atau dia salah membuka pintu, sehingga yang terlihat cermin dan bayangan-bayangan terbalik?.
              Padahal, kemana pun kamu berlari, Tuhan senantiasa setia mengikutimu.Kamu sama sekali tak bisa mengelak dariNya.Aku ingat kisah seorang anak muda yang datang pada seorang guru di India ingin diajari agama. Dibawalah pemuda itu oleh Sang Guru ke tengah sungai. Disuruh menyelam, lalu ditekan kepalanya sampai lama. Setelah dilepas pemuda itu sambil megap-megap bertanya: “ Apakah guru mengajariku agama.?
                     “Ya. Apakah yang kau inginkan ketika kepalamu di dalam air? “
Pemuda itu diam.
“Mobil, kekayaan, wanita cantik?” pancing Sang Guru.
“Tidak ! Hanya udara”
“Nah kalau satu-satunya kebutuhanmu hanya kepada Tuhan , sama dengan kebutuhanmu ketika di dalam air terhadap udara, kau belajarlah !”
Pemuda itu, seperti sekian orang lainnya yang pernah datang pada Sang Guru itu, pergi dan tidak pernah kembali. Ya, begitulah Nak, kadang orang datang ke hadapan Tuhan tidak karena cinta, tapi untuk minta sesuatu, seolah sesuatu itu lebih penting ketimbang Dia sendiri. Pantas sekali banyak orang kurang begitu hormat kepada Tuhan , karena mereka tidak tahu inti hidup yang sesungguhnya.
Kubuang puisi itu ke tong sampah. Kucium apa yang kubelikan untuknya kemarin. Agaknya dia telah menyentuhnya meski sekali dua. Ada beberapa kalimat pada terjemahannya yang digarisbawahi. Syukurlah, dia telah mulai menyusuri peta kehidupan yang lurus dan penuh cahaya.  
“Tuhan tariklah merpatiku ke dalam cahaya. Sentuhlah hatinya dengan kelembutanMu. Amin……..!”
Tapi memang belakangan hatiku jadi cepat khawatir. Hari ini agaknya dia pulang terlambat lagi. Aku menantinya dengan cemas. Berita – bertia di telavisi menjadi pupuk yang baik bagi kecemasan para orang tua.
Aku telah mengeluarkan motor bututku dari gudang. Dia datang diantar teman pria, pakai motor besar. Dia lagi.Aku batuk-batuk.
“ Maaf Yah, terlambat ! Ke ulang tahun teman.”
Aku tersenyum sedikit. Mengangguk sedikit. Sudah berapa kali diantar pria itu ? Siapa dia ? Sudah pergi ?
“ Namanya Daw, Yah. Dia dijauhi teman-teman. Mungkin karena nakal atau salah gaul. Atau karena anak seorang pejabat yang korup.Tapi Daw mencintaiku…………..”
“Oya ?” bagaimana caranya mengecilkan volume keterkejutan ?
Aku tersenyum. Cinta ? Aku tersenyum lagi. Tersenyum lagi.
“Yah ? Ayah kenapa ?”
“O, tidak !Ganti pakaian dulu, mandi, shalat !” komentarku. Dia duduk di dekatku.” Bagaimana sikap yang paling bijak, apa harus ikut memusuhinya juga ? katanya cinta dapat merubah segalanya………”
“Iya... Tapi………”
Aku lantas berkisah tentang seorang anak yang memancing di muara. Langit cerah. Dia berharap kailnya ditarik seekor ikan yang besar. Ibunya pasti senang. Dan harapanya terkabul. Anak itu tertarik sampai ke dalam perut ikan besar.
“Mestinya anak itu memegang pisau. Memotong hati ikan itu dari dalam. Lalu membedah perutnya untuk segera keluar menemui ibu yang menantinya di dapur !”
Aku tersenyum. Ow. Merpatiku yang masih muda dan cerdas. Tidak semudah itu Sayang. Di laut ada arus, ada pusaran air dan gelombang. Dan puisi pendek itu ?
“ Kau kehilangan sesuatu ?” pancingku.
“ Pasti Ayah yang membuangnya ke tempat sampah. Kenapa. Tidak suka?”
“Bukan begitu, Nanda Sayang. Seorang pemanah yang mahir pun pasti pernah satu kali luput membidik sasarannya. Apa lagi bila sasarannya adalah sesuatu yang abstrak.”
“ Daw menulisnya, Yah. Tidak tahu dia jibplak dimana.”
“ O, kalau tidak keliru itu di Perahu Kertas-nya Sapardi Joko Damono.Nanti kucarikan kau  ’99 Untuk Tuhanku’ nya  Mh Ainun Najib, ” janjiku.
***
Dan hari ini dia betul-betul pulang terlambat lagi. Ini sudah sore. Dan ini betul-betul mencemaskan. Padahal hari ini hanya pengumuman pelulusan. Aku betul-betul gelisah. Bayangan-bayangan tentang sekelompok anak sekolah yang merayakan kelulusannya dengan pesta sex di beberapa kota di tahun-tahun yang lalu seperti sekawanan burung yang menyambar-nyambar pikiranku. Kucoba bermeditasi.Kabut,kabut,kabut.Lalu kulihat sekawanan merpati dengan sayap terluka jatuh menabrak kaca.Aku makin cemas.Badai besar sedang terjadi. Dan tak ada jalan lain kecuali datang ke sekolahnya.
Benar dugaanku: sekolah telah tutup. Tetapi beberapa mobil polisi berseleweran tiap sebentar. Beberapa orang yang kutanyai memberi tahu kejadiannya. Beberapa pasang muda-mudi itu diamankan polisi. Tak ada yang tahu pasti nama-nama mereka .Semua berdasar katanya-katanya.
Tidak puas, aku melompat ke kantor polisi. Tapi tak mendapat pintu masuk. Empat orang petugas berdiri siaga dengan senapannya di depan pintu gerbang. Tapi orang-orang berseragam itu seolah memang tidak boleh bicara banyak, apalagi dengan sembarang orang, tanpa komando dari atas. Aku mencoba melompati pagar tapi punggungku dihantam popor senapan hingga benjol-benjol.
“Kau mau bikin kekacauan baru, ya?”
“Aku ingin tahu apa anakku terlibat!”
“Kalau ya, pasti kau dapat panggilan nanti!”
“Aku tak tahan menanti.Aku mau tahu sekarang!”
Lalu sebiji bugem mengoyak mulutku.Berdarah-darah.Terpaksa aku kembali duduk. Aku pulang setelah menunggu lama tanpa tahu apa-apa.
Sampai di rumah Nanda telah menantiku dengan cengar-cengir.
O, tanpa terasa kiranya badai pun telah menelusup ke dalam ruang rasaku ,ke ceruk-ceruk pikiranku sedemikian rupa sehingga membuat benjolan di punggungku serta mengoyak mulutku, ha ha ha ….                                            

                                               ****   
Sumenep 1 Desember 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar