Aku dan orang-orang, terutama yang
hatinya terkait kepada mesjid, terkejut. Seperti ada beliung angin topan menghempas
telaga batin kami. Ketenangan yang selama ini melingkupi rumah Tuhan di desa
kami itu kini tiba-tiba menggelombang. Seseorang entah siapa telah mencoret tiga nama
tetua mesjid dari daftar khotib dan imam. Betul-betul keterlaluan! Mesjid yang
selama ini kami jaga betul wibawanya, yang tak selembar keset pun pernah hilang dari lantai undakannya,
jangankan keset, sebatang lidi dari seutas sapunya pun tak ada yang berani
mencabutnya buat kepentingan pribadi. Tapi
kini justru tiga nama tetua mesjid
yang selama ini memancarkan cahaya wibawa, tercoreng oleh tinta
spidol. Dua warna berbeda lagi! Hijau
dan merah. Apa gerangan maunya si tangan misterius itu mengaduk-aduk
ketentraman umat dengan membuat teka-teki tentang filosofi warna. Nama Kiai
Syarkawi dan Ustadz Syamlan dicoret dengan spidol warna merah. Sedang Kiai
Ismail Abbas dengan warna hijau. Makna yang nyata adalah ketiganya sama-sama
tak dikehendaki menjadi khotib dan imam mesjid. Entahlah apa makna filosofi
warna itu. Setiap orang mnduga-duga. Mungkinkah itu sebuah kebetulan saja?
Misalnya si tangan misterius itu kehabisan tinta spidol merah, lalu
meneruskannya dengan spidol hijau, atau sebaliknya. Ataukah punya pertalian simbolis dengan
lambang-lambang partai politik tertentu? Tapi adakah sekarang partai yang
terlarang? Apakah ini bukan buncahan ombak perseteruan diam-diam antara
liberlisme kaum muda dengan konservatifisme kaum tua mulai menggejala di sini?
Ataukah ini sekedar sebuah gurauan belaka atau sebuah keisengan sederhana? Lho, ini
tidak bisa dibilang sederhana. Pasti ada proses yang mengantarkan
kelahiran moralitas rendahan semacam ini. Atau kelancangan ini buah dari
persetubuhan nilai yang dibawa arus
bebas budaya yang sedang
membadai?
Marilah kita lihat satu
persatu di antara nama yang tercoret itu. Kiai Ismail Abbas, ini seorang kiai
panutan, yang alim dan tawaddu’, yang paling kami ta’dzimi, , yang dengan
memandang wajahnya saja membuat hati merasa tentram, Tentang ketawadduan Kiai
Ismail Abbas, aku bisa bercerita sendiri, yaitu di masa-masa aku baru hinggap
di kampung ini. Aku kebelet ingnin buang hajat besar pas ketika melintasi
kampung ini. Tak ada kenalan siapa pun. Aku berlarilah ke mesjid itu.
“Apa mesjid punya wc ,
Mbah?” tanyaku pada seorang tua yang sedang bersih-bersih jeding mesjid.
“Itu ada, silakan!” dia menunjuk tempatnya.
Ketika aku masuk,ternyata wc-nya kotor. Ada segumpal kotoran yang
menyumbat di liang kloset. Sikat wc-nya
tak ada. Aku keluar.
“Kok tidak
jadi?” tanyanya curiga.
“Anu…mm….”
“Oya, tunggu sebentar..!” dia masuk . Sebentar saja
dia keluar. “Silakan, sudah bersih..!’ katanya. Sambil mencuci
dua tangannya.
Aku malu dan bingung. Dengan apa dia membersihkan
kloset itu? Pakai tangannya? Lebih malu lagi ketika aku menetap menjadi warga
kampung ini yang disebab oleh pertalian
jodoh. Orang itu adalah Kiai Ismail
Abbas, seorang imam yang paling dihormati di kampung ini. Dan satunya lagi Kiai
Syarkawi. Seorang yang sorbannya saja, kata orang , bisa dibuat menggeser curah hujan ke tempat lain. Kiai ini memang
ditengarai punya kekuatan supra natural. Banyak orang yang berkunjung ke
rumahnya minta dibantu untuk kelancaran segala urusan. Lalu Ustadz Syamlan,
ulama muda yang khotbah-khotbahnya mampu menyihir orang untuk tetap betah
mendengarkannya berjam-jam.
Lalu siapa gerangan pemilik tangan misterius lancang itu? Tentu masalahnya bukan
sekedar soal hurup-hurup tak terbaca. Tapi
kilatan pamor cahaya pada nama seseorang! Berarti ini soal nama baik, soal
kehormatan. Bisa jadi akan menjelma kilatan mata pedang . Siapa berani
main-main dengan nyawa semata wayangnya sendiri?
Orang-orang, terutama para pengurus
takmir blingsatan. Andaikata suara dapat memadati ruang seperti benda-benda
padat, tentulah kampung di sekitar mesjid
telah penuh dengan suara caci maki yang melompat dari rasa tercoreng dan
dilangkahi. Dan agaknya tak ada yang
lebih penting untuk diisikan ke dalam kepala kecuali ; menduga-duga siapa si
empunya tangan misterius lancang itu!
“Ini pasti digarap pada waktu-waktu
sangat sunyi !” seseorang berteori.
“Kuncinya tentu si pemegang kunci !”
seseorang berbicara sambil melirikku.
Aku terkejut. Tapi aku diam, berusaha setenang karpet sajadah yang
setiap waktu siap diinjak orang di mesjid itu. Mencoba menerima untuk menjadi
fokus sorotan. Sebagai muadzdzin tetap mesjid yang sering pegang kunci aku merasa
bersalah. Tetapi yang mereka butuhkan bukan sekedar pengakuan rasa bersalah. Aku
harus memberi keterangan yang memuaskan. Tapi kupikir, sebetulnya teori itu
gampang dipatahkan sebab hampir semua orang tahu aku tidak pernah membawa kunci mesjid ke rumah. Bersandar
pada kewibawaan mesjid dan pengalaman sekian tahun berada dalam suasana tentram
aman selalu, anak kunci itu kutaruh begitu saja di atas palang pintu utama, dan
itu pula tak sedikit orang yang
tahu.
“Itulah salahnya!” kata Ustadz Hayyi si ketua takmir berisi sesal.
“Ya..Itu salah saya. Saya mohon maaf
sebab tak menduga sama-sekali.”
Tapi, jauh di lubuk hati, aku berpikir mungkin orang itu mempunyai niat yang
baik. Dan suatu kali aku memberanikan
diri coba-coba bertanya pada Haji Makhtum, seorang dari imam mesjid juga yang selama ini nampak bergeming oleh kecamuk
angin ribut ini. Tapi apakah orang bisa dituduh atau setidaknya dicurigai hanya
karena tidak mudah terkejut? Jalan buntu. Untunglah lambat laun seberkas cahaya
menyorot tak terduga. Kabut menepi. Ada
seseorang yang mengalami putus urat kekang lidahnya. Dia kelepasan bicara.
Dikatakan bahwa satu nama yang tercoret mulai ditemukan apinya -- penyebabnya.
Kiai Syarkawi, yang selain sebagai imam
dan khotib mesjid itu, juga sebagai guru
ngaji di surau kecil miliknya dan sering
mengobati orang sakit, terutama yang oleh orang-orang dianggap penyakit aneh, dianggap pantas dicoret namanya .
“Kok begitu? Apakah itu sebuah
kekeliruan? Kan
bisa saja Ki Syarkawi diberi karomah oleh Allah untuk menyembuhkan orang sakit?
“ bela seseorang yang usut punya usut ternyata masih ada kaitan famili dengan beliau.
“Apa Ki Syarkawi merangkap juga
sebagai ahli nujum, yang suka meramal-ramal nasib seseorang?” tanya Ustadz
Hayyi nimbrung.
“Kalau pun betul begitu kan itu bukan kesalahan
beliau. Kadang-kadang pasiennya sendiri yang menanyakan ini itu. Atau pun jika memang itu kesalahan yang berat,
mestinya kan
dimusyawarah dulu dengan takmir!”
“Jangan-jangan si tangan misterius
itu iri karena pasien Ki Syarkawi makin lama makin banyak,” sambung temannya
yang sependapat.
“Bukan itu!” kata si punya mulut.
Dia nampak gugup menyadari penyakitnya yang suka kelepasan bicara. Tapi sudah
terlanjur maka dia harus bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkannya.
“Lalu?”
“Begini… “ katanya sambil menarik napas panjang. “Entah dari mana bocornya,
konon Kiai Syarkawi telah ketahuan mencabuli
salah seorang pasiennya…”
Hh? Dan seminggu berikutnya
semuanya terang benderang, ketika si pasien dan
keluarganya menuntut pertanggungjawaban di depan hukum. Orang-orang, terutama takmir mesjid
seperti mulai melihat titik terang soal teka-teki filosofis coretan spidol warna merah itu .
“Itu manusiawi, bukan?” komentar seorang yang tempo
hari membelanya.
“Memang. Bagi Kiai Syarkawi
pribadi itu sangat manusiawi. Tapi sebagai khotib dan imam mesjid itu persoalan lain lagi,” jawab Ustadz Hayyi
datar, seolah sambil memikirkan sesuatu
yang lain.
“Dan betapa hebatnya tangan misterius itu!” tuturku dalam hati.
Benar. Itulah mungkin juga yang
sedang dipikirkan Ustadz Hayyi. Siapa si tangan misterius itu? Lalu satu teori
muncul lagi sebagai praduga. Jangan-jangan satu di antara roh orang-orang
syahid kita tak setuju mesjidnya tercemari! Bukankah menurut Allah orang-orang
syahid itu tidak mati? Orang-orang akhirnya tersugesti untuk mengasah naluri spionase pada
dirinya masing-masing. Semua mata seolah berubah jadi sebuah kamera yang siap
merekam sekecil apa pun gerak-gerik Ustadz Syamlan , nama kedua yang tercoret
dengan spidol merah itu.
Sebetulnya hal ini sudah lama menggelitik daerah kepekaanku hanya saja segera teredam oleh penekanan
berlebihan kepada diri untuk selalu melazimi sangka baik. Mula-mula kulihat ada beberapa jemaah bershalat dluhur lagi setiap
Ustad Syamlan jadi imam shalat Jum’at. Demikian juga jumlah jemaah yang selalu
menyusut di saat giliran Ustad Syamlan jadi imam. Bahkan ada
yang sengaja diam-diam menyeret langkahnya turun dari mesjid sebelum khotbah
dimulai.
Suatu hari kutangkap dua dari mereka dengan halus. Kutabur rasa simpati
sebagai pancing. Lantas sedikit demi sedikit terbukalah tabir tentang apa yang
sesungguhnya menyangga sikap mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang yang pertama mencium bau itu. Sebab mereka
adalah orang-orang yang langsung merasa tercekik
dan susah bernapas oleh cengkeraman kuku-kuku istri Ustadz Syamlan. Mereka
adalah orang-orang yang terjepit oleh kemiskinan (atau pemiskinan? ) sampai tak
tahu bagaimana cara melanjutkan hidup kecuali terpaksa meminjam uang bunga
berbunga kepadanya. Hanya saja mereka tak berani menebar angin. Biarlah bau
kuhirup sendiri, batin mereka. Hanya saja hati tak bisa diam untuk berdiri
sebagai makmum di belakang Uastad Syamlan, suami wanita itu. Maka ketika cuaca
terlihat bersahabat, mereka bernyanyi.
“Masya rentenir jadi khotib dan imam
mesjid Mas Idham? Apa yang mau dia
nasehatkan pada jemaahnya..! Baju dan
sarungnya yang dipakai sholat itu pun tentu juga dari uang riba..!” tuturnya lancar seolah sudah lama diperam
dalam otaknya.
“Tapi yang menjalankan uang itu kan istrinya, bukan
dia!” pura-puraku.
“Sama saja! Istrinya ya tanggung
jawab dia juga kan ?
Lagian masa dia tidak tahu kalau istrinya ngrenten.!”
Lha,
mereka ternyata bisa berpikir juga. Sekarang jelas, bahwa si tangan misterius
itu memang hebat, bukan?
“Jadi sampean tahu siapa yang
mencoret nama-nama mereka itu?” tanyaku.
Mereka spontan glagapan. “O..o..tidak
Mas! Saya tidak tahu..!” jawabnya sambil menarik lengan temannya . merasa takut
untuk terlibat terlalu jauh.
“Sebentar dulu! Selain aku, siapa
yang pernah nanya begini ke sampean..?”
“Mmm….. “ mereka saling pandang, menukar rasa
ragu. Mengedipkan mata, lalu mengangguk. “ Haji Makhtum…Mas.!”
“O..ya ya.. Sudah, terima kasih!”
Hem. Kecurigaanku sejak mula tentang si tangan misterius itu betul.
Kecurigaan yang sekaligus bercampur kekaguman; Haji Makhtum memiliki matawaskita
yang lebih tajam. Tapi sebentar
dulu; untuk kedua nama yang pertama itu
mungkin betul. Tapi bagaimana dengan Kiai Ismail Abbas? Bukankah Haji Makhtum adalah
menantunya sendiri? Bukankah dia selama ini sangat takdzim pada beliau? Ataukah
itu orang lain lagi ? Buktinya warna
spidolnya beda. Lalu , apakah salah beliau ? Kalau terhadap dua nama terdahulu , okelah, akhirnya
orang-orang sudah melihat apinya. Tapi untuk Kiai Ismail Abbas yang alim dan
wara’ itu, agaknya orang-orang akan mati-matian mem-pertahankannya. Bayangkan
kalau putra Kiai Ibrahim Abbas yang ahli karomah ,
pemimpin pesantren salafiyah Darut
Thayyibin yang besar itu juga dicoret dari daftar khotib dan imam
mesjid. Orang-orang pasti tak akan memaafkan tindakan semena-mena Haji Makhtum.
“Masa Haji Makhtum iri dengan mertuanya sendiri ?” Ustad Hayyi ragu.
“Tapi kan
ini belum pasti beliau.!” Sanggahku.
“Itu bisa saja terjadi!” jawab
mereka seolah hendak menyudutkan. Terlebih lagi pada saat kumpulan takmir di
rumahku, Haji Makhtum tidak hadir dengan alasan kurang enak badan. Kebetulan Kiai Ismail Abbas juga tidak hadir
.
“Mungkin beliau sudah tahu kalau namanya dicoret, “ duga seseorang.
“ Bisa saja karena alasan lain
yang kita tidak tahu..” selaku.
“Jika Kiai Ismail Abbas betul-betul keluar, praktis tinggal Haji Makhtum saja imam yang
ada…” celetuk seseorang berbau curiga.
Aku jadi ingat bahwa beberapa minggu lalu Haji Makhtum minta agar di
jadwal yang baru nanti namaku dan Ustadz Hayyi dipasang sebagai khotib dan
imam. Kalau Ustadz Hayyi sih tak ada persoalan. Tapi aku, agaknya terlalu muda
untuk berdiri di depan orang-orang. Tapi memangnya kenapa dengan Kiai Ismail
Abbas?
“Kalau begitu harus ada yang berani bertanya langsung kepada Haji Makhtum.
Kalau beliau mengaku, apa alasan beliau memecat Kiai Ismail Abbas..” usul Ustadz
Hayyi agak bernada setelah menapak jalan buntu.
“Jangan pakai ‘beliau’- lah
Ustad..! Dia-dia saja!” protes seseorang.
“Jangan! Kita harus tetap menjaga kesopanan terhadap yang lebih dewasa..!”
“Kedewasaan kan
tidak diukur dari umur, Ustad. Tapi dari tingkah laku..”
“Benar. Tapi ini kita kan
belum tahu pasti kebenarannya!” tukasku.
“Oke-lah..! Kalau begitu, kami minta Mas Idham untuk bertanya langsung padanya..!” usul seseorang yang
tadi nyeletuk.
“Benar. Dia kan
murid satu-satunya …!” timpal yang lain dengan nada ejekan.
“Saya bukan muridnya. Hanya saja secara kebetulan saya akrab..” jawabku yang
waktu itu jadi tuan rumah kumpulan takmir. Dan aku memang mencoba-coba memberanikan diri bertanya pada Mas Haji
Makhtum seputar pencoretan nama Kiai Ismail Abbas sebagai khotib dan imam
mesjid. Dengan sangat hati-hati , suatu sore.
“Mungkin karena beliau sering keluar.” jawab Haji Maktum pendek.
“Maksud Mas Haji?”
“Meninggalkan waktu” tambahnya enteng.
Aku tertegun. Meninggalkan waktu? Keluar? Keluar kemana? Masya orang sealim
beliau bisa meninggalkan shalat lima waktunya? Aku pun menanti kelanjutan kalimat itu,
merindukan penjelasan lagi. Tapi tetap sia-sia. Jawabannya memang hanya begitu.
Kemudian aku melaporkan jawaban singkat itu pada Ustadz Hayyi dengan bertandang
ke rumahnya. Ustadz Hayyi kemudian menceritakan hasil laporanku itu kepada
beberapa pengurus lain. Akhirnya mereka – ada enam orang- bersepakat untuk
sowan ke rumah Kiai Ismail Abbas nanti sehabis shalat Isya mengharapkan satu
dua patah kata yang mungkin bisa memeperjelas keterangan Haji Makhtum. Tapi itu
tak jadi sebab beberapa menit sebelum
adzan Isya Kiai Ismail Abbas muncul di mesjid. Tiba-tiba, seperti tahu yang
kami harapkan. Sebentar kemudian tampak Haji Makhtum juga datang. Mereka
menyalami tangan Kiai Ismail Abbas tetapi tidak kepada tangan Haji Makhtum.
Kecuali aku.
Haji Makhtum belum sempurna benar
shalat sunnahnya ketika iqomah dikumandangkan orang. Para
pengurus takmir minta agar Kiai Ismail Abbas mengimami sholat Isya . Haji Makhtum yang baru selesai melakukan
salam kedua tergesa-gesa memberi isyarah
dengan tangannya, mencegah niat mereka. Tapi mereka sama sekali tidak menggubrisnya.
Sepertinya mereka tiba-tiba kehilangan respek pada Haji Makhtum. Aku sendiri
berusaha diam dan menata batin senetral mungkin.
Kiai Ismail Abbas yang memang jarang menolak permintaan baik orang itu
maju ke tempat imam. Dua kakinya seperti dipaku ke lantai, begitulah jika Kiai
Ismail Abbas sholat. Suasana sholat Isya kali ini nampak lebih khidmad dari biasanya. Shaf pertama penuh, rapat dan rapih dan shaf kedua tiga perempat. Remaja dan
anak-anak di shaf kedua tak susah diatur seperti waktu-waktu yang lain.
Takbiratul ikhram , bacaan Fatihah yang merdu, i’tidal dan sujud pertama berjalan seperti biasa.
Tapi sujud kedua terasa agak lama. Bukan
agak lama, tapi sangat lama. Para jemaah di shaf
kedua yang terdiri dari anak-anak dan
remaja sudah beberapa kali mengangkat wajahnya. Tapi Kiai Ismail Abbas masih
khusyuk dalam sujudnya. Beberapa orang tua di shaf pertama juga terlihat
mengangkat wajahnya, lalu kembali lagi bersujud sebab imam masih khusyuk dalam
sujudnya. Setelah hampir setengah jam kira-kira, Haji Makhtum keluar dari
sholat berjemaah dan melanjutkan sholat
Isya sendiri. Beberapa makmum yang lain juga mengambil tindakan yang sama
setelah saling pandang. Akhirnya semua
makmum meniru tindakan Haji Makhtum.
Usai shlat Isyak dengan sedikit dzikir dan do’a, Haji Makhtum turun dari
mesjid dan pergi tanpa kata-kata. Beberapa orang masih celingukan melihat Kiai
Ismail Abbas tetap khusyuk dalam sujudnya. Beberapa orang sengaja menunggu di
mesjid sampai pukul sembilan malam. Tapi Kiai Ismail Abbas masih tetap khusyuk
dalam sujudnya.
Konon ketua takmir datang lagi ke mesjid pukul sepuluh malam dan Kiai
Ismail Abbas masih tetap khusyuk dalam sujudnya. Bahkan seolah didorong rasa
khawatir, ketua takmir mendekat di belakang Kiai Ismail Abbas yang sedang
sujud. Dia berpikir jangan-jangan Kiai Ismail Abbas telah meninggal dunia dalam
keadaan bersujud. Tapi ternyata tidak. Kiai Ismail Abbas terdengar begitu
khusyuk melafadzkan ‘ Subhana Rabiyal A’laa Wabihamdih..”
Ketika tiba waktu subuh, sebagai muadzdzin sholat shubuh aku juga kaget
sebab kujumpai Kiai Ismail Abbas masih tetap dalam sujudnya. Demikian juga
jemaah sholat shubuh yang datang kemudian. Terpaksa kami mendirikan sholat
subuh berjemaah di shaf bagian tengah ke belakang. Kejadian itu berlangsung
terus sampai pagi hari, siang hari waktu shalat Dzuhur, shalat Ashar dan shalat
Maghrib berikutnya, bahkan sampai hari berikutnya lagi. Barulah pada malam
ketiga, ketika kami baru selesai
melakukan sholat Isya berjemaah di shaf tengah, Kiai Ismail Abbas tegak dari
sujudnya, berdiri dan menyelesaikan empat rokaat shalat Isya yang beliau mulai
tiga hari yang lalu.
Sehabis salam beliau menoleh. “Seharusnya makmum tidak mendahului imam, “ ujar beliau pada kami.
“Maaf, Kiai.. Sholat Kiai itu sholat Isya tiga hari yang lalu..” aku
menjelaskan.
Nampak beliau linglung sendiri. Aku dan Ustadz Hayyi beradu pandangan,
seolah sama-sama menemukan pijaran makna tentang jawaban Haji Makhtum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar