Kamis, 07 Maret 2013

Sumbangan dari Langit

         Wak Hamid membawa Taff-nya dengan kecepatan sedang. Lewat separuh hari sudah waktu kami habiskan berkeliling. Berhenti di salah satu mesjid untuk berjemaah sholat dzuhur. Di mesjid lain untuk sholat ashar. Di mesjid lain untuk memperbaharui wudlu, di mesjid lain lagi sekedar cuci kaki. Sebentar melihat-lihat laut biru, makan-minum di warung tepi jalan, lalu ngajak pulang. Entah apa yang beliau mau.
“Sekarang giliranmu nyetir Ji, lewat jalan lingkar!”
Aku patuh. Tapi kenapa lewat jalan lingkar? Apa maksud Wak Hamid? Aku malas lewat di sana. Sebentar-sebentar harus tekan pedal rem. Di situ ada beberapa mesjid yang baru dibangun dengan dana menadah di jalan, dengan speaker yang nyinyir.   
“Ji, setelah kita mampir di beberapa mesjid yang besar-besar itu, menururtmu apa yang sulit dilakukan orang untuk mesjid?”
“Kurang tahu Wak. Apanya ya? Mungkin ..menjaga kebersihannya . Juga mengisinya untuk berjemaah di lima waktunya,” jawabku sekedarnya sambil menjaga kemudi. Itu pun berdasar apa yang baru saja kusaksikan di beberapa mesjid itu.
“Betul, Ji, berarti kau bisa melihat dengan baik!”
O.. ini tah maksudnya jalan-jalan yang sampai menghabiskan separoh umur hari? Kenapa tidak langsung saja tanya seperti itu? Ah, Wak Hamid memang rada aneh, di samping pendiam, tenang, dan penuh rahasia. Tindakannya kadang-kadang tak terduga.
Seperti itu juga sekarang. Di pertemuan rutin takmir  di rumah Ustad Hayyi ini beliau tiba-tiba menyatakan pengunduran dirinya, seraya minta maaf kepada semua anggauta jika selama bergaul dengan mereka, terutama  sebagai ketua takmir beliau banyak khilaf. Tak hayal banyak orang yang kaget dengan pernyataannya itu.
“Dia merasa tidak  bakal terpilih lagi pada peleburan pengurus mendatang!”
“Atau..  dia kecewa karena pendapatnya ditolak!”. 
            “Jika ternyata cuma menghambat, perlu apa didengar!”
“Dia tidak menghendaki kemajuan!”
“Memang sudah saatnya yang tua-tua mundur, memberi kesempatan pada yang   
muda!”
Suara bisik-bisik itu semua dari tokoh muda. Mereka rata-rata cuma  tiga atau lima tahun di atasku. Aku sendiri anggauta takmir paling muda. Di samping karena meneruskan keanggautaan almarhum Ayah, menurut Wak Hamid, juga untuk lebih mengakrabkanku dengan mesjid, setelah ReMasnya stagnan.
Pertemuan malam ini  tidak  membahas issue peleburan pengurus, melainkan khusus berembuk tentang rencana pemugaran mesjid. Sebagian anggauta takmir menghendaki mesjid dipugar total . Wak Hamid sebetulnya setuju saja, asal dananya jangan menadah di jalan-jalan. Ini yang dibantah oleh kebanyakan kalangan muda, bahkan dipotong sebelum pembicaraan beliau tuntas . Lalu terjadi perdebatan antara yang pro dan kontra. Masing-masing dengan argumentasi yang panjang lebar. Wah Hamid diam saja.
“Saya pikir tidak apa-apa  nadah di jalan asal kita tetap menjaga kesopanan..”
“Tapi itu akan merusak citra agama kita sendiri,” sanggah yang pro Wak Hamid.
“Tidak juga. Kadang mereka tidak sempat kalau tidak ditadah begitu!”
“Kadang yang ikhlas yang sedikit-sedikit begitu!”
“Ya, itu kesempatan bagi yang tidak bisa menyumbang banyak!”
Akhirnya  lebih banyak yang setuju dipugar total dan boleh menadah di jalan. Terutama tokoh-tokoh mudanya. Wak Hamid tetap memilih  diam saja. Lantas setiap anggauta ditanya dan dicatat berapa kesanggupannya menyumbang. Kecuali aku, semua orang menyebut angka-angka rupiah dari seratus ribu sampai lima juta. Atau semen beberapa sak. Aku bilang siap menyumbang tenaga kapan saja diperlukan. Nampaknya semua orang maklum. Ketika tiba giliran Wak Hamid, beliau menyebut lima ratus ribu. Kulirik banyak orang toleh-menoleh temannya lalu sedikit mencibir.
“Nyumbang segitu aja , berani larang-larang!” gerutu di samping kiriku.
“Pelit, sok gengsi!” timpal di sisi kananku.
Aku diam. Takut keliru. Andaikata aku jadi mereka, tidak akan kupotong pembicaraan orang tua yang pendiam seperti Wak Hamid. Sebab kalau tidak penting, tentu beliau tak akan bicara.  Sebab, yang aku tahu, Wak Hamid tidak seperti itu. Bahkan beliau pernah berkata padaku dulu begini;
“Ji, kau harus belajar nyetir mobil ini! Besok-besok, ini kau yang pakai buat keperluan mesjid dan jemaah yang butuh pertolongan.”
Aku diam saja, dipukau rasa haru , heran dan setengah tak percaya.
“Ji, kau tahu kenapa aku  senang dapat akrab denganmu?”
Aku menggeleng. Malu.  Sesungguhnya, akulah yang mesti bersyukur dapat akrab dengan beliau. Bisa menimba ilmunya, belajar kesabarannya, dan menjadi sasaran kedermawanannya.
“Engkaulah Ji, seorang remaja,  enam tahun yang lalu, ketika aku ingin menetap kembali di tanah air dan mencari tanah untuk bikin rumah, engkau kulihat  begitu tulus menyapu lantai mesjid, di siang hari, saat teman-teman seusiamu sibuk bermain. Ketika itu, aku seperti melihat mimpinya Imron dan Hannah,  dalam Al-Qur’an, yang bercita-cita  kalau anaknya kelak lahir lelaki, akan dipersembahkan kepada Allah, dengan cara merawat Baitul Maqdis atau Mesjid Al Aqsha…”
“Lalu anak mereka laki-laki, Wak?”
“Tidak. Dia perempuan. Tapi akhirnya dia termasuk salah seorang dari empat wanita terbaik di surga..”
Aku diam, dalam renungan dan haru biru.
“Lalu  aku berusaha mendapatkan tanah ini, meski mahal, agar dekat dengan mesjid. Dan aku punya cita-cita yang besar untuk mesjid kita itu Ji, semoga Allah merestui…!”
          Amiin.. sambutku di hati meski tak tahu apa cita-cita besar itu.
          “Kau tahu kenapa aku punya cita-cita besar untuk mesjid itu, Ji?”
          Aku tergagap dan spontan saja  menggeleng.
          “Karena aku yakin kau tulus merawatnya! “ Tanpa hiraukan aku yang masih  terharu biru  beliau melanjutkan : “ Dan sepeninggalku nanti, Ji, kau akan dihubungi oleh salah seorang putriku. Ada hal penting yang telah kurembuk dengan mereka berkaitan denganmu dan mesjid itu .”
 “Mereka sekarang dimana Wak?”  tanyaku penuh ingin tahu. Aku hanya tahu mereka pulang ke rumah Wak Hamid sebentar  ketika ibu mereka wafat  tiga tahun lalu kurang sedikit.
“Mereka ikut suaminya. Satu di Brunai, satunya di Yaman Selatan. Tapi tolong belajarlah diam. Allah mencintai hambaNya yang pendiam.”
 “Tapi, Wak, memangnya Wak mau kemana pakai berwasiat segala?”
“Lho, Ji, setiap yang berjiwa itu pasti akan mati. Dan bicara kematian itu perlu setiap saat agar  kita punya kesadaran untuk selalu bersiap-siap..”
Aku merinding. Dan sekarangpun aku merinding. Jangan-jangan pengunduran diri Wak Hamid ini tidak karena beliau tersinggung seperti dugaan mereka. Dan permintaan maafnya itu lebih sebagai sebuah isyarah. Seperti bahasa mentari yang hampir  angslup ke dalam malam.
Aku ingat suatu sore,selepas shalat ashar berjemaah, beliau pernah bertanya pendapatku tentang isyarah,
            “Ji, kau percaya dengan isyarah?”
“Maksud Wak, firasat?”
“Ya. Percaya?”
“Kata orang, itu sih tahayyul Wak. Sebab kadang itu hanya kebetulan saja.”
“Tidak Ji. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan . ‘Kebetulan’ itu hanya bahasa ketidaktahuan kita. Sebab selembar daun yang jatuh di kegelapan rimba itu pun sudah ada dalam rencana Allah. Sudah tertulis di Laoh Mahfudz. Dan setiap kejadian pasti ada maksudnya, sebab Allah tak pernah iseng. Bahkan bagi orang tertentu, semua dapat berbicara. Hanya karena manusia banyak yang lalai, seperti aku, tidak mengerti ‘bahasa Tuhan yang menyamar’ ”
Aku mengangguk takdzim . Dan dalam kekhusyukan begini aku tak ingin merusaknya dengan desis selirih apa pun. Meski di dalam otakku sebetulnya sedang menggganjal pertanyaan; lalu, kalau begitu, buat apa kita ini berusaha, bekerja misalnya, jika semua sudah ditentukan Allah.
“Berusaha itu wajib, Ji. Sebab kita belum tahu rencana Tuhan. Dan selama kita masih makan-minum, kita harus bekerja, gerak, agar tak terjadi penumpukan  energi di dalam  tubuh. Kalau kita hanya diam saja itu namanya mubadzdzir, jadi penyakit. Biasanya orang akan dimudahkan bagi apa yang ditakdirkan untuknya.Tapi jika luput dari keberhasilan, harus bersabar, itu ada pahalanya tersendiri..” paparnmya jelas. Entahlah, hanya padaku Wak Hamid mau bicara banyak, dan tentunya jika sesuatu itu dianggap sangat penting. Mungkin karena beliau tahu aku suka mendengarkannya. Kupikir, ini keuntunganku; dapat menimba  banyak ilmu dari beliau.
Ketika pertemuan selesai, Wak Hamid dan beberapa orang tokoh kalangan tua tidak langsung pulang. Mungkin sengaja untuk omong-omong kecil.
“Yang paling afdol sebetulnya bagaimana memakmurkan mesjid dengan memperbanyak kegiatan yang dapat menumbuhkan kesadaran bertaqwa, menarik banyak jemaah, bukan cuma memperbesar fisiknya!”kata Haji Saleh, wakil ketua takmir..
“Ya, ndak tahulah, mungkin setelah fisiknya besar dan bagus, para generasi muda  akan tertarik masuk ke mesjid, “ timpal Ustad Hayyi, agak moderat.
Wak Hamid masih diam. Kadang tersenyum kecil. Kucari kalau ada burat kecewa di wajahnya. Tidak, wajah beliau tetap teduh, tenang dan penuh rahasia. Pukul 21.00 kami bubar. Wak Hamid mampir ke rumah gubukku. Seperti ada yang ingin dibicarakan secara khusus entah apa. Mungkin berkenaan dengan statusku di takmir. Sejak kematian Ustad Hanif, bendahara, lima bulan lalu, anak-anak kunci kas amal mesjid  diserahkan padaku untuk sementara. Baru kemudian, atas usul Wak Hamid, resmi disetujui aku sebagai penggantinya, tentu saja merangkap sebagai petugas bersih-bersih. Untuk yang terakhir ini memang aku yang minta. Aku tak punya apa-apa untuk disumbangkan kecuali tenaga. Jadilah semua anak konci mesjid ada di tanganku.
Namun tunggu punya tunggu ternyata Wak Hamid tidak berbicara  apa pun kecuali sebuah kalimat pujian: “Wak yakin kau akan teguh dan lurus dalam menjaga  amanah. Tentu saja, Ji,  memang harus punya kesabaran ganda dalam mengurusi milik orang banyak,” katanya.
“Insya Allah Wak!” Aku mengangguk-angguk.
 ***
 Sekarang pun aku  hanya bisa mengangguk-angguk. Seperti mulai dapat membaca makna  isyarah-isyarah itu. Sebab sekarang Wak Hamid sudah tiada. Ya, tadi malam. Malam Jum’at pukul 24.00. Pagi ini jenazahnya akan dibumikan. Tidak ada yang perlu dinanti. Sebab kedua putrinya dan menantu-menantunya kebetulan sedang berkunjung ke sini sejak dua hari lalu. Ah, kebetulan lagi! Tidak ada sesuatu yang kebetulan!
Tapi semua orang kaget juga dengan kematian Wak Hamid yang tiba-tiba itu. Lalu sebagian merasa bersalah. Terutama yang telah berburuk sangka atas pengunduran diri Wak Hamid. Pagi itu, di pemakaman, meraka berbincang seputar pamitnya Wak Hamid dan permintaan maafnya, seolah sebagai isyarah bahwa usianya telah hampir tutup. Bahkan ada yang mengira-ngira jangan-jangan ketika pamit mengundurkan diri itu Wak Hamid telah tahu kalau beliau empat jam lagi akan pergi untuk selamanya. Apa lagi setelah dikaitkan dengan kedatangan kedua putri dan menantu-menantunya. Seolah mereka memang diminta untuk menyaksikan dan menemani akhir-akhir hayat beliau.
“Áh, itu kebetulan aja!” sanggah seseorang .
“Mana mungkin seorang yang begitu pelit dikasih keistimewaan begitu!” timpal temannya.
Aku diam saja, seperti tidak mendengar. Tapi menururtku, mungkin Wak Hamid  mau menyumbang lebih banyak lagi, seandainya mereka tidak buru-buru memotong pembicaraannya., sehingga mengerti apa sebetulnya kelanjutan dari usulnya itu. Kadang-kadang orang muda suka main tembak-tembakan saja kalau bicara tanpa mempertimbangkan perasaan orang yang punya telinga. Inilah lapisan yang mulai terkelupas dari sebagian generasi sekarang; sopan santun!          Lagi pula, kalau aku jadi Wak Hamid, buat apa menyumbang banyak-banyak. Bukankah mereka lebih mengandalkan hasil tadahan di jalan-jalan itu? Jadi, logis juga keputusan beliau itu.  Hampir saja aku membelanya, andai tak segera membayang wajah beliau yang teduh,  membuat aku merasa lebih baik diam.
           ***
          Sampai lepas tujuh hari dari kematian Wak Hamid, aku belum juga dipanggil secara khusus oleh salah seorang putri beliau. Apakah beliau lupa memberitahu putrinya tentang cita-cita besar itu? Baru ketika mereka hendak pulang dan aku diminta mengantarnya ke bandara aku diberi tahu beberapa hal..
          “Mas Pamuji ingat rencana Ayah tentang mobil ini, dulu?”
          “Ya, ingat,” jawabku kaku. Ragu apa mau panggil mbak atau adik.
          “Dan sejak sekarang, rumah dekat mesjid yang tak seberapa isinya itu menjadi milik sampean. Ini konci-koncinya. Sertifikat penghibahannya ada di dekat komputer di kamar beliau. Tolong makam beliau sesekali dibersihkan, ya!” jelasnya sambil menaruh rentengan anak konci di depan kemudi. Aku hanya sanggup menganguk. Terlalu dipukau oleh rasa haru, lupa untuk berucap terima kasih. Tapi sama sekali mereka tidak bicara soal mesjid. Apa beliau memang lupa?
          ***
          Sekarang Jum’at kedua sejak kematian Wak Hamid. Sebentar lagi ba’da sholat Jum’at ada rapat pengurus takmir di beranda mesjid untuk penegasan rencana pemugaran itu.  Juga giliran pembukaan brangkas amal mesjid yang dua minggu sekali. Seperti disarankan Wak Hamid aku sungguh hati-hati menjaga amanah itu.  Tapi ketika kotak amal itu hendak dibuka, semua orang  terkejut. Tidak ada satu pun anak konci yang pas untuk membuka gemboknya. Berganti-ganti orang telah mencobanya dan saling membodohkan. Setelah diteliti ternyata tidak ada nomor anak kunci  yang sesuai.
      “Owalaaa.. ini gembok baru! Gembok lama mungkin dicukil orang dan digantinya dengan yang baru! Lihat ini bekas cukilannya!”
     “Wah, kita kecolongan! Pasti telah ludes isinya!”
     “Keterlaluan sekali kalau ada orang berani nyolong milik mesjid!”
     “Dik Pamuji  yang pegang semua kunci pintu mesjid masa tidak tahu siapa orangnya?” tanya Ustad Saleh, sumbang di telingaku. Semua mata tertuju padaku. Tentulah wajahku sekarang sangat pucat pasi.    
    “Sungguh saya sangat menjaga amanah itu, Pak. Anak kuncinya selalu saya simpan dengan baik sejak menerima dari Wak Hamid lima bulan  yang lalu..”  suaraku bergetar.
     Akhirnya  gembok itu dicongkel paksa.  Dan setelah terbuka semua mata terbelalak.
      “Sumbangan misterius dengan jumlah besar…!!” pekik beberapa orang yang berkerumun. Mata mereka melotot takjub. Hatiku plong. Rongga dadaku seperti baru menemukan udara segar  untuk bernapas. Mereka lantas menghitung bindelan uang kertas baru seratus ribuan yang belum bergeser sedikitpun dari kertas bendelnya itu . Jumlahnya cukup besar. Satu milyar lebih. Cukup untuk membangun mesjid  agak mewah untuk ukuran desa. Ustad Hayyi segera mencatatnya di buku kas, mewakiliku. Tapi ketika hendak menulis nama si penyumbang dia terjengah.
       “Mau ditulis apa nama penyumbang misterius ini?” tanya ustad Hayyi.
       Beberapa jemaah yang ikut menyaksikan ikut bingung.
      “Ndak usah repot; tulis saja ‘Sumbangan dari langit!’ Toh bila Tuhan sedang berkehendak, sebab-sebab menjadi tidak begitu penting!” celetuk seseorang.
      “Setuju….!! “suara koor yang lain.
      Ah, pinter juga mereka menyesuaikan pendapatnya dengan situasi yang ada. Kenapa tidak sejak awal  berpendapat begitu?
      “Yang penting, kita bisa membangun mesjid tanpa menadah di jalan!” timpal seseorang dari golongan tua, membuat beberapa orang dari golongan muda terjengah.
      Setelah rapat bubar mereka terus berbincang dan saling tanya siapa si penyumbang misterius itu. Aku segera pergi ke toilet mesjid, membersihkan kerak-kerak yang melekat di dinding dan lantainya. Tapi aku juga terus berpikir siapakah gerangan penyumbang misterius itu? Dan aku jadi ingat kata-kata almarhum Wak Hamid dulu padaku:
     “Ji, orang bilang tidak ada rejeki menggelinding begitu saja dari langit. Kau percaya?”
     “Menurut Wak sendiri?”
     “Nabi Musa, Nabi Isa, pernah diberi makanan langsung dari langit. Bahkan Siti Maryam dikirim buah-buahan langsung ke mihrabnya dari surga…”
    “Itu kan para Nabi dan orang-orang suci, Wak..”
     “Bukan soal Nabi tidaknya , Ji. Tapi iman dan hubungan kita  kepada Allah, istimewa ndak? Kalau hubungan kita istimewa, tentu Allah akan memberi kita dengan cara istimewa pula.”
     Aku mengangguk saja. Dan sejak aku membulatkan diri menjadi petugas bersih-bersih mesjid ini, dulu, tiga atau empat hari sekali, setiap menjelang subuh selalu kudapati sebungkus beras, gula, kopi bubuk dan lain-lain dalam satu tas plastik tergantung di dinding kayu rumahku. Jika hari-hari menjelang hari raya, isinya bertambah; ada sarung, bajo koko, dan peci serta sandal. Aku mula-mula ragu untuk mengambilnya. Tapi ibuku, yang memang tahu betul kebutuhan hidup kami berpendapat.
     “Itu sering dilakukan para sahabat Rosul dulu, Ji. Konon untuk menghindari riya’. Ambil saja. Kita anggap saja itu dari Allah lewat hamba-hambaNya yang mulia,” begitu pendapat ibu.
      Berkali-kali kuselidiki siapa yang datang malam-malam ke rumahku. Beberapa malam sengaja aku menunda tidur tapi dasar kelelahan, selalu saja terlelap dan kehilangan jejak. Akhirnya bosan juga aku memikirkannya dan aku mulai setuju pendapat ibu. Tapi sejak dua minggu yang lalu, sejak Wak Hamid wafat, tak pernah ada lagi bungkusan seperti itu tergantung di dinding rumahku setiap pagi buta.

LMCP 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar