Selasa, 12 Maret 2013

Orang-Orang Yang Tercoret Namanya

Aku dan orang-orang, terutama  yang hatinya terkait kepada mesjid, terkejut. Seperti ada beliung angin topan menghempas telaga batin kami. Ketenangan yang selama ini melingkupi rumah Tuhan di desa kami  itu kini tiba-tiba menggelombang.  Seseorang entah siapa telah mencoret tiga nama tetua mesjid dari daftar khotib dan imam. Betul-betul keterlaluan! Mesjid yang selama ini kami jaga betul wibawanya, yang tak selembar keset pun  pernah hilang dari lantai undakannya, jangankan keset, sebatang lidi dari seutas sapunya pun tak ada yang berani mencabutnya buat kepentingan pribadi. Tapi  kini  justru tiga nama  tetua mesjid  yang selama ini memancarkan cahaya wibawa, tercoreng oleh tinta spidol.  Dua warna berbeda lagi! Hijau dan merah. Apa gerangan maunya si tangan misterius itu mengaduk-aduk ketentraman umat dengan membuat teka-teki tentang filosofi warna. Nama Kiai Syarkawi dan Ustadz Syamlan dicoret dengan spidol warna merah. Sedang Kiai Ismail Abbas dengan warna hijau. Makna yang nyata adalah ketiganya sama-sama tak dikehendaki menjadi khotib dan imam mesjid. Entahlah apa makna filosofi warna itu. Setiap orang mnduga-duga. Mungkinkah itu sebuah kebetulan saja? Misalnya si tangan misterius itu kehabisan tinta spidol merah, lalu meneruskannya dengan spidol hijau, atau sebaliknya. Ataukah  punya pertalian simbolis dengan lambang-lambang partai politik tertentu? Tapi adakah sekarang partai yang terlarang? Apakah ini bukan buncahan ombak perseteruan diam-diam antara liberlisme kaum muda dengan konservatifisme kaum tua mulai menggejala di sini? Ataukah ini sekedar sebuah gurauan belaka atau sebuah keisengan sederhana?  Lho, ini  tidak bisa dibilang sederhana. Pasti ada proses yang mengantarkan kelahiran moralitas rendahan semacam ini. Atau kelancangan ini buah dari persetubuhan  nilai yang dibawa arus bebas   budaya yang  sedang  membadai? 
Marilah kita lihat satu persatu di antara nama yang tercoret itu. Kiai Ismail Abbas, ini seorang kiai panutan, yang alim dan tawaddu’, yang paling kami ta’dzimi, , yang dengan memandang wajahnya saja membuat hati merasa tentram, Tentang ketawadduan Kiai Ismail Abbas, aku bisa bercerita sendiri, yaitu di masa-masa aku baru hinggap di kampung ini. Aku kebelet ingnin buang hajat besar pas ketika melintasi kampung ini. Tak ada kenalan siapa pun. Aku berlarilah ke mesjid itu.
           “Apa mesjid punya wc , Mbah?” tanyaku pada seorang tua yang sedang bersih-bersih jeding mesjid.
“Itu ada, silakan!” dia menunjuk tempatnya.
Ketika aku masuk,ternyata wc-nya kotor. Ada segumpal kotoran yang menyumbat di  liang kloset. Sikat wc-nya tak ada. Aku keluar.
“Kok  tidak jadi?” tanyanya curiga.
 “Anu…mm….”
“Oya, tunggu sebentar..!” dia masuk . Sebentar saja dia keluar. “Silakan, sudah bersih..!’ katanya. Sambil  mencuci  dua tangannya.
Aku malu dan bingung. Dengan apa dia membersihkan kloset itu? Pakai tangannya? Lebih malu lagi ketika aku menetap menjadi warga kampung ini yang disebab oleh  pertalian jodoh.  Orang itu adalah Kiai Ismail Abbas, seorang imam yang paling dihormati di kampung ini. Dan satunya lagi Kiai Syarkawi. Seorang yang sorbannya saja, kata orang , bisa dibuat menggeser curah  hujan ke tempat lain. Kiai ini memang ditengarai punya kekuatan supra natural. Banyak orang yang berkunjung ke rumahnya minta dibantu untuk kelancaran segala urusan. Lalu Ustadz Syamlan, ulama muda yang khotbah-khotbahnya mampu menyihir orang untuk tetap betah mendengarkannya berjam-jam.
Lalu siapa gerangan pemilik tangan  misterius lancang itu? Tentu masalahnya bukan sekedar soal hurup-hurup tak terbaca.  Tapi kilatan pamor cahaya pada nama seseorang! Berarti ini soal nama baik, soal kehormatan. Bisa jadi akan menjelma kilatan mata pedang . Siapa berani main-main dengan nyawa semata wayangnya sendiri?
        Orang-orang, terutama para pengurus takmir blingsatan. Andaikata suara dapat memadati ruang seperti benda-benda padat, tentulah kampung di sekitar mesjid  telah penuh dengan suara caci maki yang melompat dari rasa tercoreng dan  dilangkahi. Dan agaknya tak ada yang lebih penting untuk diisikan ke dalam kepala kecuali ; menduga-duga siapa si empunya tangan misterius lancang itu! 
           “Ini pasti digarap pada waktu-waktu sangat sunyi !” seseorang berteori.
           “Kuncinya tentu si pemegang kunci !” seseorang berbicara sambil melirikku.           Aku terkejut. Tapi aku  diam, berusaha setenang karpet sajadah yang setiap waktu siap diinjak orang di mesjid itu. Mencoba menerima untuk menjadi fokus sorotan. Sebagai   muadzdzin tetap  mesjid yang sering pegang kunci aku merasa bersalah. Tetapi yang mereka butuhkan bukan sekedar pengakuan rasa bersalah. Aku harus memberi keterangan yang memuaskan. Tapi kupikir, sebetulnya teori itu gampang dipatahkan sebab hampir semua orang tahu aku  tidak pernah membawa kunci mesjid ke rumah. Bersandar pada kewibawaan mesjid dan pengalaman sekian tahun berada dalam suasana tentram aman selalu, anak kunci itu kutaruh begitu saja di atas palang pintu utama, dan  itu pula tak sedikit orang yang tahu. 
            “Itulah salahnya!” kata  Ustadz Hayyi si ketua takmir berisi sesal.
            “Ya..Itu salah saya. Saya mohon maaf sebab tak menduga sama-sekali.”
            Tapi, jauh di lubuk hati, aku  berpikir mungkin orang itu mempunyai niat yang baik.   Dan suatu kali aku memberanikan diri coba-coba bertanya pada Haji Makhtum, seorang dari imam mesjid juga  yang selama ini nampak bergeming oleh kecamuk angin ribut ini. Tapi apakah orang bisa dituduh atau setidaknya dicurigai hanya karena tidak mudah terkejut? Jalan buntu. Untunglah lambat laun seberkas cahaya menyorot tak terduga. Kabut menepi. Ada seseorang yang mengalami putus urat kekang lidahnya. Dia kelepasan bicara. Dikatakan bahwa satu nama yang tercoret  mulai ditemukan apinya -- penyebabnya. Kiai  Syarkawi, yang selain sebagai imam dan khotib mesjid itu,  juga sebagai guru ngaji di surau kecil miliknya dan  sering mengobati orang sakit, terutama yang oleh orang-orang dianggap penyakit aneh,  dianggap pantas dicoret namanya .
            “Kok begitu? Apakah itu sebuah kekeliruan? Kan bisa saja Ki Syarkawi diberi karomah oleh Allah untuk menyembuhkan orang sakit? “ bela seseorang yang usut punya usut ternyata masih ada kaitan famili dengan beliau.
            “Apa Ki Syarkawi merangkap juga sebagai ahli nujum, yang suka meramal-ramal nasib seseorang?” tanya Ustadz Hayyi nimbrung.
            “Kalau pun betul begitu kan itu bukan kesalahan beliau. Kadang-kadang pasiennya sendiri yang menanyakan ini itu. Atau  pun jika memang itu kesalahan yang berat, mestinya kan dimusyawarah dulu dengan takmir!”
            “Jangan-jangan si tangan misterius itu iri karena pasien Ki Syarkawi makin lama makin banyak,” sambung temannya yang sependapat.
            “Bukan itu!” kata si punya mulut. Dia nampak gugup menyadari penyakitnya yang suka kelepasan bicara. Tapi sudah terlanjur maka dia harus bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkannya.
            “Lalu?”
            “Begini… “ katanya sambil  menarik napas panjang. “Entah dari mana bocornya, konon Kiai Syarkawi  telah ketahuan mencabuli salah seorang pasiennya…”
 Hh? Dan seminggu berikutnya semuanya terang benderang, ketika si pasien dan  keluarganya menuntut pertanggungjawaban  di depan hukum. Orang-orang, terutama takmir mesjid seperti mulai melihat titik terang soal teka-teki filosofis  coretan spidol warna merah itu .
 “Itu  manusiawi, bukan?” komentar seorang yang tempo hari  membelanya.
  “Memang. Bagi Kiai Syarkawi pribadi itu sangat manusiawi. Tapi sebagai khotib dan imam mesjid  itu persoalan lain lagi,” jawab Ustadz Hayyi datar, seolah sambil memikirkan  sesuatu yang lain.
 “Dan betapa hebatnya  tangan misterius itu!” tuturku dalam hati.
 Benar. Itulah mungkin juga yang sedang dipikirkan Ustadz Hayyi. Siapa si tangan misterius itu? Lalu satu teori muncul lagi sebagai praduga. Jangan-jangan satu di antara roh orang-orang syahid kita tak setuju mesjidnya tercemari! Bukankah menurut Allah orang-orang syahid itu tidak mati? Orang-orang akhirnya  tersugesti untuk mengasah naluri spionase pada dirinya masing-masing. Semua mata seolah berubah jadi sebuah kamera yang siap merekam sekecil apa pun gerak-gerik Ustadz Syamlan , nama kedua yang tercoret dengan spidol merah itu.   
Sebetulnya hal ini sudah lama menggelitik daerah kepekaanku  hanya saja segera teredam oleh penekanan berlebihan kepada diri untuk selalu melazimi sangka baik. Mula-mula kulihat ada  beberapa jemaah bershalat dluhur lagi setiap Ustad Syamlan jadi imam shalat Jum’at. Demikian juga jumlah jemaah yang selalu menyusut di  saat  giliran Ustad Syamlan jadi imam. Bahkan ada yang sengaja diam-diam menyeret langkahnya turun dari mesjid sebelum khotbah dimulai.
Suatu hari kutangkap dua dari mereka dengan halus. Kutabur rasa simpati sebagai pancing. Lantas sedikit demi sedikit terbukalah tabir tentang apa yang sesungguhnya menyangga sikap mereka. Ternyata mereka adalah orang-orang  yang pertama mencium bau itu. Sebab mereka adalah orang-orang yang  langsung merasa tercekik dan susah bernapas oleh cengkeraman kuku-kuku istri Ustadz Syamlan. Mereka adalah orang-orang yang terjepit oleh kemiskinan (atau pemiskinan? ) sampai tak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup kecuali terpaksa meminjam uang bunga berbunga kepadanya. Hanya saja mereka tak berani menebar angin. Biarlah bau kuhirup sendiri, batin mereka. Hanya saja hati tak bisa diam untuk berdiri sebagai makmum di belakang Uastad Syamlan, suami wanita itu. Maka ketika cuaca terlihat bersahabat, mereka bernyanyi.
            “Masya rentenir jadi khotib dan imam mesjid Mas Idham?  Apa yang mau dia nasehatkan pada jemaahnya..!  Baju dan sarungnya yang dipakai sholat itu pun tentu juga dari uang riba..!”  tuturnya lancar seolah sudah lama diperam dalam otaknya.
            “Tapi yang menjalankan uang itu kan istrinya, bukan dia!”  pura-puraku.
            “Sama saja! Istrinya ya tanggung jawab dia juga kan? Lagian masa dia tidak tahu kalau istrinya ngrenten.!”
            Lha, mereka ternyata bisa berpikir juga. Sekarang jelas, bahwa si tangan misterius itu memang hebat, bukan?
           “Jadi sampean tahu siapa yang mencoret nama-nama mereka itu?” tanyaku.
           Mereka spontan glagapan. “O..o..tidak Mas! Saya tidak tahu..!” jawabnya sambil menarik lengan temannya . merasa takut untuk terlibat terlalu jauh.
           “Sebentar dulu! Selain aku, siapa yang pernah nanya begini ke sampean..?”
           “Mmm….. “ mereka saling pandang, menukar rasa ragu. Mengedipkan mata, lalu mengangguk. “ Haji Makhtum…Mas.!”
“O..ya ya.. Sudah, terima kasih!”
Hem. Kecurigaanku sejak mula tentang si tangan misterius itu betul. Kecurigaan yang sekaligus bercampur kekaguman; Haji Makhtum memiliki matawaskita yang lebih tajam.  Tapi sebentar dulu;  untuk kedua nama yang pertama itu mungkin betul. Tapi bagaimana dengan Kiai Ismail Abbas? Bukankah Haji Makhtum adalah menantunya sendiri? Bukankah dia selama ini sangat takdzim pada beliau? Ataukah itu orang lain lagi ? Buktinya warna  spidolnya beda. Lalu , apakah salah beliau ? Kalau  terhadap dua nama terdahulu , okelah, akhirnya orang-orang sudah melihat apinya. Tapi untuk Kiai Ismail Abbas yang alim dan wara’ itu,  agaknya  orang-orang  akan mati-matian mem-pertahankannya. Bayangkan kalau  putra Kiai  Ibrahim Abbas yang ahli karomah , pemimpin  pesantren salafiyah Darut Thayyibin  yang besar itu  juga dicoret dari daftar khotib dan imam mesjid. Orang-orang pasti tak akan memaafkan tindakan semena-mena Haji Makhtum.  
“Masa Haji Makhtum iri dengan mertuanya sendiri ?” Ustad Hayyi ragu.
“Tapi kan ini belum pasti beliau.!” Sanggahku.
“Itu bisa saja terjadi!”  jawab mereka seolah hendak menyudutkan. Terlebih lagi pada saat kumpulan takmir di rumahku, Haji Makhtum tidak hadir dengan alasan kurang enak badan.  Kebetulan Kiai Ismail Abbas juga tidak hadir . 
“Mungkin beliau sudah tahu kalau namanya dicoret, “ duga seseorang.
“ Bisa saja karena  alasan lain yang kita tidak tahu..” selaku.
“Jika Kiai Ismail Abbas betul-betul keluar,  praktis tinggal Haji Makhtum saja imam yang ada…” celetuk seseorang  berbau curiga.
Aku jadi ingat bahwa beberapa minggu lalu Haji Makhtum minta agar di jadwal yang baru nanti namaku dan Ustadz Hayyi dipasang sebagai khotib dan imam. Kalau Ustadz Hayyi sih tak ada persoalan. Tapi aku, agaknya terlalu muda untuk berdiri di depan orang-orang. Tapi memangnya kenapa dengan Kiai Ismail Abbas?
“Kalau begitu harus ada yang berani bertanya langsung kepada Haji Makhtum. Kalau beliau mengaku, apa alasan beliau memecat Kiai Ismail Abbas..” usul Ustadz Hayyi   agak bernada setelah menapak jalan buntu.
“Jangan  pakai ‘beliau’- lah Ustad..! Dia-dia saja!” protes seseorang.
“Jangan! Kita harus tetap menjaga kesopanan terhadap yang lebih dewasa..!”
“Kedewasaan kan tidak diukur dari umur, Ustad. Tapi dari tingkah laku..”
“Benar. Tapi ini kita kan belum tahu pasti kebenarannya!” tukasku.
“Oke-lah..! Kalau begitu, kami minta Mas Idham untuk  bertanya langsung padanya..!” usul seseorang yang tadi nyeletuk.
“Benar. Dia kan murid satu-satunya …!” timpal yang lain dengan nada ejekan.
“Saya bukan muridnya. Hanya saja secara kebetulan saya akrab..” jawabku yang waktu itu jadi tuan rumah kumpulan takmir. Dan aku memang mencoba-coba  memberanikan diri bertanya pada Mas Haji Makhtum seputar pencoretan nama Kiai Ismail Abbas sebagai khotib dan imam mesjid. Dengan sangat hati-hati , suatu sore.
“Mungkin karena beliau sering keluar.” jawab Haji Maktum pendek.
“Maksud Mas Haji?”
“Meninggalkan waktu” tambahnya enteng.
Aku tertegun. Meninggalkan waktu? Keluar? Keluar kemana? Masya orang sealim  beliau bisa meninggalkan shalat lima waktunya?  Aku pun menanti kelanjutan kalimat itu, merindukan penjelasan lagi. Tapi tetap sia-sia. Jawabannya memang hanya begitu. Kemudian aku melaporkan jawaban singkat itu pada Ustadz Hayyi dengan bertandang ke rumahnya. Ustadz Hayyi kemudian menceritakan hasil laporanku itu kepada beberapa pengurus lain. Akhirnya mereka – ada enam orang- bersepakat untuk sowan ke rumah Kiai Ismail Abbas nanti sehabis shalat Isya mengharapkan satu dua patah kata yang mungkin bisa memeperjelas keterangan Haji Makhtum. Tapi itu tak jadi sebab  beberapa menit sebelum adzan Isya Kiai Ismail Abbas muncul di mesjid. Tiba-tiba, seperti tahu yang kami harapkan. Sebentar kemudian tampak Haji Makhtum juga datang. Mereka menyalami tangan Kiai Ismail Abbas tetapi tidak kepada tangan Haji Makhtum. Kecuali aku.
 Haji Makhtum belum sempurna benar shalat sunnahnya ketika iqomah dikumandangkan orang. Para pengurus takmir minta agar Kiai Ismail Abbas mengimami sholat Isya .  Haji Makhtum yang baru selesai melakukan salam kedua tergesa-gesa memberi  isyarah dengan tangannya, mencegah niat mereka. Tapi mereka sama sekali tidak menggubrisnya. Sepertinya mereka tiba-tiba kehilangan respek pada Haji Makhtum. Aku sendiri berusaha diam dan menata batin senetral mungkin.
Kiai Ismail Abbas yang memang jarang menolak permintaan baik orang itu maju ke tempat imam. Dua kakinya seperti dipaku ke lantai, begitulah jika Kiai Ismail Abbas sholat. Suasana sholat Isya kali ini nampak lebih khidmad  dari biasanya. Shaf  pertama penuh, rapat dan rapih  dan shaf kedua tiga perempat. Remaja dan anak-anak di shaf kedua tak susah diatur seperti  waktu-waktu yang lain.
Takbiratul ikhram , bacaan Fatihah yang merdu, i’tidal dan  sujud pertama berjalan seperti biasa. Tapi  sujud kedua terasa agak lama. Bukan agak lama, tapi sangat lama. Para jemaah di shaf kedua yang terdiri dari anak-anak  dan remaja sudah beberapa kali mengangkat wajahnya. Tapi Kiai Ismail Abbas masih khusyuk dalam sujudnya. Beberapa orang tua di shaf pertama juga terlihat mengangkat wajahnya, lalu kembali lagi bersujud sebab imam masih khusyuk dalam sujudnya. Setelah hampir setengah jam kira-kira, Haji Makhtum keluar dari sholat berjemaah dan melanjutkan  sholat Isya sendiri. Beberapa makmum yang lain juga mengambil tindakan yang sama setelah saling pandang.  Akhirnya semua makmum meniru tindakan Haji Makhtum.
Usai shlat Isyak dengan sedikit dzikir dan do’a, Haji Makhtum turun dari mesjid dan pergi tanpa kata-kata. Beberapa orang masih celingukan melihat Kiai Ismail Abbas tetap khusyuk dalam sujudnya. Beberapa orang sengaja menunggu di mesjid sampai pukul sembilan malam. Tapi Kiai Ismail Abbas masih tetap khusyuk dalam sujudnya.
Konon ketua takmir datang lagi ke mesjid pukul sepuluh malam dan Kiai Ismail Abbas masih tetap khusyuk dalam sujudnya. Bahkan seolah didorong rasa khawatir, ketua takmir mendekat di belakang Kiai Ismail Abbas yang sedang sujud. Dia berpikir jangan-jangan Kiai Ismail Abbas telah meninggal dunia dalam keadaan bersujud. Tapi ternyata tidak. Kiai Ismail Abbas terdengar begitu khusyuk melafadzkan ‘ Subhana Rabiyal A’laa Wabihamdih..”
Ketika tiba waktu subuh, sebagai muadzdzin sholat shubuh aku juga kaget sebab kujumpai Kiai Ismail Abbas masih tetap dalam sujudnya. Demikian juga jemaah sholat shubuh yang datang kemudian. Terpaksa kami mendirikan sholat subuh berjemaah di shaf bagian tengah ke belakang. Kejadian itu berlangsung terus sampai pagi hari, siang hari waktu shalat Dzuhur, shalat Ashar dan shalat Maghrib berikutnya, bahkan sampai hari berikutnya lagi. Barulah pada malam ketiga, ketika  kami baru selesai melakukan sholat Isya berjemaah di shaf tengah, Kiai Ismail Abbas tegak dari sujudnya, berdiri dan menyelesaikan empat rokaat shalat Isya yang beliau mulai tiga hari yang lalu.
Sehabis salam beliau menoleh. “Seharusnya makmum tidak mendahului  imam, “ ujar beliau pada kami.
“Maaf, Kiai.. Sholat Kiai itu sholat Isya tiga hari yang lalu..” aku menjelaskan.
Nampak beliau linglung sendiri. Aku dan Ustadz Hayyi beradu pandangan, seolah sama-sama menemukan pijaran makna tentang jawaban Haji Makhtum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar